Pada suatu hari, ada berita yang menyebutkan bahwa seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota, didatangi seorang pemuda. Pemuda itu bermaksud untuk melamar anak perempuannya yang belum menikah. Namun, ustadz tersebut menjawab: “Maaf, putri saya sudah ada yang melamar.”
Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa seorang perempuan yang
sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut menerima, menolak,
atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti tidak boleh
bagi laki-laki lain untuk melamarnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu
bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar menjadi tiga
keadaan:
- Keadaan Pertama
Perempuan tersebut menerima
lamarannya atau memberi jawaban “ya”. Maka, tidak dibenarkan bagi pria
lain untuk melamarnya, kecuali laki-laki pertama membatalkan lamarannya
atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya.
Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ
أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ
الْخَاطِبُ
“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” (HR. Bukhari: 4746)
Namun, para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits
di atas, sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut
menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa
larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari
madzhab Malikiyah mengatakan bahwa larangan tersebut berlaku bagi pria
shalih yang melamar wanita pinangan pria shalih lainnya. Adapun jika
pelamar yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik),
dibolehkan bagi laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.”
(Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988,
cet ke – 10 , juz: 2 /3)
Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena pihak
mempelai wanita tiba-tiba membatalkan lamaran hanya karena laki-laki
lain. Dan keputusan itu berpotensi menimbulkan permusuhan, kebencian dan
dendam antara satu dengan yang lain.
Lalu bagaimana jika laki-laki kedua bersikeras untuk menikahinya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah swt, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Daud dari madzhab Dhahiriyah.
Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual, maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.
Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak batal. (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, juz: 2 /3)
- Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan
tersebut menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam
madzab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling
benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. (al Khotib As
Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet
ke – 1, Juz: 4/ 222)
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais yang telah dicerai
suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada
Rasulullah saw mengadu:
قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي
سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ
عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي
أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ
فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang yang ringan tangan (suka memukul), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku merasa bahagia hidup dengannya. (HR Muslim, 2709)
Berkata Imam Syafi’i menerangkan hadist di atas :
“ Fatimah telah memberitahukan Rasulullah saw bahwa Abu Jahm dan
Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu dengan izin Allah
swt bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang
lain, dan Rasulullah saw tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan
tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan
bahwa Fatimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut.
Bahkan, Rasulullah saw melamar Fatimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah
melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang
wanita yang sudah dilamar orang lain), saya juga tidak mendapatkan
bahwa Rasulullah saw melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan
kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar
terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar
tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti,
orang lain tidak boleh melamarnya lagi “ (Al Umm, Beirut, Dar Kutub
Ilmiyah, 1993, cet – 1: Juz 5/ 64 )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin
Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang: Jarir bin
Abdullah, Marwan bin al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum
mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan
kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum
memberikan jawabannya. (Ibnu Qudamah, al Mughni: 9/ 568)
- Keadaan Ketiga:
Perempuan yang dilamar tersebut belum memberikan jawaban secara
jelas, tapi memberikan isyarat atau tanda bahwa dia menerima lamarannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:
Pendapat Pertama; Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadist Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut kelompok ini bahwa di dalam hadist Fatimah binti Qais menunjukkan bahwa dia (Fatimah) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah saw tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan kebolehan.
Selain itu, di dalam hadist tersebut tidak disebutkan bahwa nabi
Muhammad saw bertanya terlebih dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah,
apakah Fatimah sudah cenderung kepada salah satunya atau belum. Hal ini
menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang perempuan secara umum selama
belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.
Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan sudah bisa dianggap sebagai persetujuan.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar