Sabtu, 03 Desember 2011

Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah

Sebuah resensi buku "Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah" yang bersumber dari blog tetangga ini sengaja saya copas dan kupersembahkan spesial buat  kawan-kawan yang mungkin memerlukan sebuah bahan bacaan dalam rangka menuju keluarga sakinahnya. Semoga bermanfa'at ya . . .

@_@

***

Judul : Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah
Penulis : Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Penerbit : Pustaka At Taqwa
Cetakan : Cet. IV, Juni 2008
Halaman : xii+303

Buku yang ditulis oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas ini memang layak menjadi bingkisan yang istimewa bagi siapa saja yang ingin menuju keluarga sakinah. Isinya berupa panduan panduan tentang pernikahan yang islami. Disertai pula dengan hak hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh pasangan suami istri. Juga tentang arahan apa yang harus dilakukan bila sang buah hati lahir. Pada bagian akhir disertakan tentang berbakti kepada kedua orang tua, suatu fundamen yang penting dalam rumah tangga suami istri.


Pada ringkasan ini telah dikutipkan sebagian isi dari buku tersebut yaitu dari bab Tata Cara Pernikahan Dalam Islam. Hanya sebagian saja. Kemudian footnote pun tidak disertakan seluruhnya. Semoga menjadi perhatian bagi para ikhwan dan akhwat yang akan menikah, juga para wali dan orang tua yang anaknya akan menikah. Semoga pernikahannya sesuai dengan aturan Islam dan mendatangkan keberkahan dari Allah Jalla wa 'Ala.


[AQAD NIKAH]
-------------
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban  yang harus dipenuhi, yaitu adanya: 
1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul


[WALI]
-------------
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang yang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.

Ibnu Bathtal rahimahullah berkata, "Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama -diantaranya adalah Imam Malik, ats Tsauri, al Laits, Imam asy Syafi'i, dan selainnya- berkata, "Wali dalam pernikahan adalah 'ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali."

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

"Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali." (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083). Hadits ini dishahihkan Syaikh al Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840)).

Persyaratan adanya wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seseorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari al Qur'anul Karim.

Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) :

"Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai masa 'iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS. al Baqarah: 232).

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: "MAKA JANGANLAH KAMU (PARA WALI) MENGHALANGI MEREKA," al Hasan al Bashri rahimahullah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma'qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

"Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa 'iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, 'Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: 'MAKA JANGANLAH KAMU (PARA WALI) MENGHALANGI MEREKA,' Maka aku berkata, 'Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.'"

Kemudian Ma'qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu. (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al Bukhari (5130).

Hadits Ma'qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih dan sharih (jelas). Hadits ini merupakan sekuat-kuatnya hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya TIDAK SAH NIKAH TANPA WALI, BAIK GADIS MAUPUN JANDA. Dalam hadits ini, Ma'qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju' dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta'ala menurunkan ayat yang mulia ini (al Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, WALI SEBAGAI SYARAT SAHNYA NIKAH.


[KEHARUSAN MEMINTA PERSETUJUAN WANITA SEBELUM PERNIKAHAN]
--------------------------------------------------------
Apabila pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,

"Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya," Para shahabat berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?"
Beliau menjawab, "Jika ia diam saja."

Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma bahwasannya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya). (Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096)).


[PERSONAL VIEW]
---------------
Tidak sah nikah tanpa wali baik gadis maupun janda. Wali merupakan syarat sahnya nikah.
Pada sisi yang lain seorang wali pun tidak boleh sewenang wenang. Seorang wali wajib meminta persetujuan wanita yang berada di bawah perwaliannya. Berkata Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah dalam salah satu tulisannya,

"Demikian juga hendaknya menjadi pelajaran kepada setiap bapak agar lebih bijak dalam menikahkan anak-anak perempuannya. Karena masalah hati tidak bisa dipaksakan, walaupun badan dipaksa dan terpaksa mengikutinya. Karena sebagaimana laki-laki, maka wanita pun dalam masalah ini mempunyai hak yang sama dalam menentukan pilihannya. Apatah lagi dia hanya seorang wanita, dimana Nabi yang mulia telah memerintahkan kepada kita untuk berpesan dan berwasiat baik baik kepada mereka." (Abdul Hakim bin Amir Abdat, Al Masaa-il, Jilid 7, Darus Sunnah, Masalah 204, Cet. I, Oktober 2006, hal. 185-186).


Demikian semoga bermanfaat.

Ringkasan buku ditulis oleh Abu Isa Hasan Cilandak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar