Kini tibalah saatnya kita semua mendengar nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat prof.Dr.Mamduh Hassan Al Gonzouri. Beliau adalah ketua Ikatan Doktor Cairo dan direktor Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar saraf terkemuka di Timur Tengah, yang tidak lain adalah juga pensyarah bagi kedua mempelai. Kepada Professor Mamduh dipersilakan”.
Suara pengerusi majlis walimatul urs’ itu bergema di seluruh ruangan majlis pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi Sungai Nil, Cairo. Seluruh hadirin menanti dengan penuh penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar saraf kelulusan London itu. Hati mereka menanti-nanti, mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesihatan saraf dari professor yang murah dengan senyuman dan sering muncul di televisyen itu. Sejurus kemudian, seorang lelaki separuh baya berambut putih melangkah menuju pentas. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Kepalanya yang sedikit botak meyakinkan bahawa ia memang ilmuwan berjaya. Sorot matanya tajam dan kuat, mengisyaratkan peribadi yang tegas. Sebaik sampai di pentas, kamera video dan lampu sorot terus menyunting ke arahnya. Sesaat sebelum berbicara, seperti biasa, ia sentuh bingkai kacamatanya,lalu…
Bismillah. Alhamdulillah. Wash shalatu was salamu’ala Rasulillah. Amma ba’du. Sebelumnya saya mohon maaf, saya tidak boleh memberikan nasihat lazimnya para ulama, para mubaligh, atau para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita.
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan khayalan belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tidak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan seluruh hadirin yang dimuliakan Allah boleh mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambillah mutiaranya dan buanglah lumpurnya. Saya berharap kisah nyata saya ini dapat melunakkan hati-hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dan kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Hadirin yang terhormat,
Tiga puluh lima tahun yang lalu. Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira berpangkat tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga bangsawan terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, pakar ekonomi lulusan Sorbonne yang memegang jawatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik negeri ini. Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana kebangsawanan dengan aturan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma kebangsawanan. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan bangsawan atau kalangan high class sepadan! Entah mengapa, saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkongkong dan terbelenggu oleh golongan sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan hidup sebenar yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justeru saat bergaul dengan teman-teman dan kalangan bawahan yang menghadapi kehidupan dengan penuh tentangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat keluarga saya gusar, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak boleh menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang-orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengalas perut dianggap memalukan keluarga.
Namun saya tidak ambil peduli. Kerana ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari datuk, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat kali ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa bercuti ke luar negeri, ke Paris, Rom, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika bercuti di dalam negeri, ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di dalam Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.
Sebaik masuk fakulti kedoktoran, saya dibelikan kereta mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan kereta biasa sahaja, agar lebih senang bergaul dengan teman-teman dan para pensyarah. Tapi beliau menolak mentah-mentah.
“Justeru dengan kereta mewah itu kamu akan dihormati siapa sahaja”.Tegas ayah. Terpaksa saya pakai kereta itu meskipun dalam hati saya membantah pendapat materialistik ayah. Dan agar lebih selesa di hati, saya meletakkan kereta itu jauh dari tempat kuliah.
Di kuliah saya jatuh cinta pada teman sekuliah. Seorang gadis yang penuh pesona zahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya. Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga menyintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diredhai Allah, iaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakulti.
Maka datanglah saatnya untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu dan saudara mara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Selepas kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Sebaik saja saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan terus membanting gelas yang ada berdekatannya. Bahkan beliau mengancam: “Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!” Beliau menegaskan bahawa selama beliau masih hidup rancangan pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.
Hadirin semua, adakah Anda tahu apa sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian kejam? Sebabnya, kerana ayah calon isteri saya itu adalah tukang cukur…..tukang cukur, ya sekali lagi…tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Kerana meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajipannya pada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan “Pasha”. Melalui tangannya ia lahirkan tiga orang doktor, seorang jurutera dan seorang leftenan, meskipun dia sama sekali tidak pernah mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan seluruh keluarga berpihak pada ayah. Saya sendiri berdiri, tiada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki saya membawa pasangannya yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah, ibu terus merestui dan menyiapkan biaya majlis pernikahannya sebanyak lima ratus ribu pound. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina , bertukar ganti pasangan dan akhirnya menghamilkan pasangannya yang entah keberapa di luar aqad nikah, malah direstui dan diberi biaya maha besar?
Dengan senang ayah menjawab: “Kerana kamu memilih pasangan hidup dari golongan yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan teman wanita adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Gonzouri”.
Hadirin semua, semakin perit luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya tentu sudah tentu saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat mahu datang, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justeru terus dibiayai. Dan dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahawa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya.
Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rancangan saya. Namun la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliau pun menolak mentah-mentah untuk mengahwinkan puterinya dengan saya. Bahkan juga bersumpah tidak akan merestui hal itu selamanya, demi kehormatan keluarganya. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan kalangan “Pasha”. Namun puterinya berkeras ingin menikah dengan saya dan tidak akan menikah kecuali dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad bernikah dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami terseksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi kerana alasan status sosial, sedangkan keluarga dia menolak kerana alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang–orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah berfikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke pejabat ma’adzun syari (petugas pencatat nikah) disertai tiga orang sahabat karibku. Kami berikan identiti kami dan kami minta ma’adzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syar’i mengikut madzhab Imam Hanafi. Ketika ma’adzun menutun saya: “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunnatullah wa rasulihi dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai madzhab Imam Abu Hanifah Radiyallahu ‘anhu”. Seketika itu bercucuranlah air mata saya, airmata dia dan airmata ketiga sahabat saya yang tahu secara detail perjalanan menuju aqad nikah itu.
Kami keluar dari pejabat itu dengan rasmi sebagai suami-isteri yang sah di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia. Kami punya bukti sah sebagai suami isteri yang diakui negara dan diakui syariat. Kami telah bertekad siap mengahadapi kemungkinan hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan dukungan siapa pun kecuali pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya bisikkan dalam telinga isteri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, aqad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Sebaik saja mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Kereta dan segala kemudahan yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali beg lusuh berisi beberapa pasang pakaian dan duit sebanyak tujuh pound saja, hanya empat pound! Itulah sisa duit yang saya miliki selesai membayar duit aqad nikah di pejabat ma’adzun. Begitu pula dengan isteriku, ia turut diusir oleh
keluarganya.
Lebih tragis ia hanya membawa beg kecil berisi pakaian dan wang sebanyak dua pound, tidak lebih. Total, kami hanya pegang enam pound atau dua dolar. Ah, apa yang boleh kami lakukan dengan enam pound. Kami berdua bertemu di jalanan umpama gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil. Rasa cemas, takut, sedih, dan sengsara bercampur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dakapan kasih sayang, rasa berdaya dan hidup
menjalari sukma kami.
“Habibi, maafkan Kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini Maafkan kanda!.
“Tidak Kanda tidak salah, langkah yang Kanda tempuh benar. Kita telah berfikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak boleh menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berfikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahawa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini, percayalah, insya Allah, saya akan sentiasa mendampingi Kanda, selama Kanda setia membawa dinda di jalan yang lurus.
Kita akan buktikan pada mereka bahawa kita boleh hidup dan berjaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu, kita hulurkan tangan kita dan kita berikan senyuman kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Airmata mereka akan mengalir deras seperti derasnya airmata derita kita saat ini.” Jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan pengaruh yang luar biasa dalam diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahawa satu bulan lagi kami akan dilantik menjadi doktor. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan wang sebanyak 40 pound.
Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di kaki lima kedai berdua sebagai orang melarat yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di kaki lima kedai itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa wang pound itu kami boleh meminjam telefon di sebuah kedai dua puluh empat jam. Saya Berjaya menghubungi seorang teman yang boleh memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan menghantarkan kami dengan keretanya mencarikan lokandat (rumah penginapan) ala kadarnya yang murah.
Saat kami berteduh dalam bilik sederhana, segeralah kami disedarkan kembali bahawa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengharunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami hidup dalam lokandat itu beberapa hari, sampai teman kami berjaya menemukan rumah sewa sederhana di daerah kumuh Syubra Kaimah.
Bagi kaum bangsawan, rumah sewa kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah sewa kami. Namun bagi kami, ini adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,jika seorang gelandang tanpa rumah menemukan tempat berteduh, ia bagaikan mendapat hadiah agung dari langit.
Kebetulan yang tuan punya rumah sedang memerlukan wang, sehingga dia menerima aqad sewa tanpa wang jaminan dan wang perkhidmatan lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah ke sana. Lalu kami membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tidak lebih dari sebuah tilam kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kerusi dan satu dapur gas sederhana sekali, kipas, dan dua cangkir dari tanah, itu saja tak lebih.
Dalam hidup yang bersahaja dan belum boleh dikatakan layak itu, kami tetap merasa bahagia, kerana kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan ghairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan syurga di akhirat. Kerana di syurga Allah menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnul Qayyim, bahawa ni’matnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setitis rasa ni’mat yang disediakan Allah di syurga. Jika percintaan suami isteri itu ni’mat, maka syurga jauh lebih ni’mat dari itu semua.
Ni’mat cinta di syurga tidak boleh dibayangkan. Yang paling ni’mat adalah cinta yang diberikan Allah kepada penghuni syurga, saat Allah memperlihatkan wajahNya. Dan tidak semua penghuni syurga berhak meni’mati indahnya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk mencapai ni’mat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya iaitu Al-Quran dan Sunnah. Yang konsisten mengikuti
petunjuk Allahlah yang berhak memperoleh segala cinta di syurga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepadaNya. Isteri saya jadi rajin membaca Al-Quran, lalu memakai tudung, dan tiada putus solat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi puteri raja yang cantik mengghairahkan. Di akhir malam ia menjelma menjadi Rabiah Adawiyah yang larut dalam samudera munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang dia adalah doktor yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berperibadian kuat, ia bertekad untuk menempuh hidup berdua tanpa bantuan siapa pun, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia juga seorang wanita yang pandai mengurus wang . Wang sebanyak 55 pound yang tersisa setelah membayar rumah cukup untuk makan dan pengangkutan selama satu bulan.
Tetangga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami juga mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah doktor. Sampai-sampai ada yang kata tanpa disengaja: “Ah, kami ingat para doktor itu pasti semuanya kaya, ternyata ada juga ya yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”
Akrabnya persahabatan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya seperti saudara sendiri. Ada yang menawari isteri agar menumpangkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka. Kerana kami memang doktor yang sibuk. Ada yang membelikan keperluan dapur. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan tetangga itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami.
Yang lebih menyakitkan, mereka tidak membiarkan kami hidup tenang. Suatu malam ketika kami sedang tidur nyenyak,tiba-tiba rumah kami diketuk dengan kasar dan ditendang oleh empat penjahat kiriman ayah saya. Mereka merosakkan segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya mereka patah-patahkan, begitu juga kerusi. Katil tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman: “Kalian tidak akan hidup tenang, kerana berani menentang Tuan Pasha!” Yang mereka maksudkan dengan “tuan pasha” adalah ayah saya yang saat itu pangkatnya naik menjadi jeneral.
Keempat-empat banjingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bersama-sama berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami atur kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan juga kapas-kapas yang berserakan, kami masukkan dalam tilam dan kami jahit tilam yang koyak-rabak tidak karuan itu. Kami susun semula buku-buku yang bersepah. Meja dan kerusi yang pecah itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tidur kepenatan dengan tangan erat bergenggaman, seolah-olah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang
meringankan tekanan hidup ini. Benar, firasat saya mengatakan ayah tak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat berita dari seorang teman bahawa ayah telah merancang scenario keji untuk memenjarakan isteri saya berdua dengan tuduhan wanita pelacur. Semua orang juga tahu kuatnya pegawai perisik ketenteraan di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di bawah telapak kaki mereka. Saya hanya boleh pasrah segalanya kepada Allah mendengar hal itu.
Dan masya Allah! Ayah memang merancang rancangan itu dan tidak mengurangkan niat jahatnya itu kecuali setelah seoarang teman karibku berjaya memperdaya beliau dengan bersumpah akan berjaya memujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan akan berbuat lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap minggu sambil meminta beliau bersabar, sampai berjaya meyakinkan saya untuk menceraikan isteriku. Inilah rancangan temanku itu untuk terus menghulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya dapat mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saatnya masa wajib militer (tentera). Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang sangat saya takutkan, tidak ada kemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama satu tahun saya tidak dapat tidur kerana memikirkan keselamatan isteri tercinta. Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hambaNya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapat kesempatan bekerja sementara di sebuah klinik kesihatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah.
Selesai wajib militer, saya terus menumpahkan segenap rasa rindu pada kekasih hati. Saat itu adalah musim bunga. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestin yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan lepas dari belenggu derita.
Sambil menatap ke kaki langit
Kukatakan padanya
Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai Subuh tiba
Bukan kerana ketiadaan kata-kata
Tetapi kerana kupu-kupa kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku, besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan kita akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
***
Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya istirehat dari nestapa dan derita. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah berkeras untuk masuk program Magister bersama. Gila! Idea gila! Fikirku saat itu. Bagaimana tidak. Ini adalah saat yang paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai doktor di Negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah terfikir untuk meraih Magister.
Saya pujuk dia untuk menghentikan niatnya. Tapi dia tetap berkeras untuk meraih Magister dan menjawab dengan logik yang tak kuasa saya tolak: “Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari fakulti sehingga akan memperolehi keringanan dalam pembiayaan, kita harus bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita reguk sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi akademik kita, dan kita wujudkan
mimpi indah kita.”
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja isteriku,hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Kemasukan hanya cukup-cukup untuk hidup, sementara keperluan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktikal, buku dan lain-lain. Nyaris kami hidup seperti kaum sufi. Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama dengan perut lapar, teman setia kami adalah air paip. Ya, air paip. Masih terakam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa lapar tak terkira, kami ubati dengan air. Yang terjadi, kami malah muntahmuntah. Terpaksa wang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengisi perut. Siang hari, jangan tanya, kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat isteri saya mengeluh, menangis, sedih atau pun marah kerana suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class,tiba-tiba harus hidup sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak mampu lagi melukiskan rasa sayang, penghormatan dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang nampak di depan saya adalah wajah isteri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dan senyumannya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang!” bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat
membara.
Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelaran Master dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih Master pun kami masih mengecap hidup susah, tidur di atas tilam nipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami. Sampai akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha keras, kami berjaya menandatangani kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait.
Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas tilam empuk. Kami kenal kembali makanan lazat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun dapat membeli villa bertingkat dua di Heliopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang sesuai. Tetapi isteriku memang “gila”. Ia kembali mengeluarkan idea gila, iaitu idea untuk melanjutkan program doktor spesialis di London, juga dengan alasan logik yang susah saya tolak:
“Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini memiliki wang yang cukup untuk mengambil doktor di London. Setelah bertahun-tahun kita hidup di lorong buruk dan kotor, tak ada salahnya kita raih sekalian tahap akademik tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”
Ku cium kening isteriku, bismillah kita ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berjaya meraih gelaran doktor dari London. Saya spesialis saraf dan isteri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelaran doktor spesialis, kami menandatangani kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya.
Bahkan saya diangkat sebagai doktor ahli sekaligus direktor rumah sakitnya dan isteri saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universiti. Kami pun dikurniai seorang puteri yang cantik dan cerdas. Saya namakan dia dengan nama isteri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan.
Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertambahlah rasa cinta kami. Ini cerita nyata yang ingin saya sampaikan sebagai nasihat hidup. Jika hadirin sekalian ingin tahu isteri solehah yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru muda yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat samping kiri artis berjilbab Huda Sulthan, dialah isteri saya tercinta yang mengajrkan bahawa penderitaan boleh mengekalkan cinta, dialah Prof. Shiddiqa binti Abdul Aziz!”
Tepuk tangan bergemuruh mengiri gegak kamera video menyuting sosok perempuan separuh baya yang nampak anggun dengan jilbab biru tuanya. Perempuan itu sedang mengusap cucuran airmatanya. Kamera itu juga merakam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai dan segenap hadirin yang menghayati cerita itu dengan saksama.
***************
Disarikan dari novel "Di Atas Sajadah Cinta" karya Habiburrahman El Shirazy
Suara pengerusi majlis walimatul urs’ itu bergema di seluruh ruangan majlis pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi Sungai Nil, Cairo. Seluruh hadirin menanti dengan penuh penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar saraf kelulusan London itu. Hati mereka menanti-nanti, mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesihatan saraf dari professor yang murah dengan senyuman dan sering muncul di televisyen itu. Sejurus kemudian, seorang lelaki separuh baya berambut putih melangkah menuju pentas. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Kepalanya yang sedikit botak meyakinkan bahawa ia memang ilmuwan berjaya. Sorot matanya tajam dan kuat, mengisyaratkan peribadi yang tegas. Sebaik sampai di pentas, kamera video dan lampu sorot terus menyunting ke arahnya. Sesaat sebelum berbicara, seperti biasa, ia sentuh bingkai kacamatanya,lalu…
Bismillah. Alhamdulillah. Wash shalatu was salamu’ala Rasulillah. Amma ba’du. Sebelumnya saya mohon maaf, saya tidak boleh memberikan nasihat lazimnya para ulama, para mubaligh, atau para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita.
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan khayalan belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tidak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan seluruh hadirin yang dimuliakan Allah boleh mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambillah mutiaranya dan buanglah lumpurnya. Saya berharap kisah nyata saya ini dapat melunakkan hati-hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dan kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Hadirin yang terhormat,
Tiga puluh lima tahun yang lalu. Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira berpangkat tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga bangsawan terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, pakar ekonomi lulusan Sorbonne yang memegang jawatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik negeri ini. Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana kebangsawanan dengan aturan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma kebangsawanan. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan bangsawan atau kalangan high class sepadan! Entah mengapa, saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkongkong dan terbelenggu oleh golongan sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan hidup sebenar yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justeru saat bergaul dengan teman-teman dan kalangan bawahan yang menghadapi kehidupan dengan penuh tentangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat keluarga saya gusar, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak boleh menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang-orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengalas perut dianggap memalukan keluarga.
Namun saya tidak ambil peduli. Kerana ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari datuk, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat kali ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa bercuti ke luar negeri, ke Paris, Rom, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika bercuti di dalam negeri, ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di dalam Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq.
Sebaik masuk fakulti kedoktoran, saya dibelikan kereta mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan kereta biasa sahaja, agar lebih senang bergaul dengan teman-teman dan para pensyarah. Tapi beliau menolak mentah-mentah.
“Justeru dengan kereta mewah itu kamu akan dihormati siapa sahaja”.Tegas ayah. Terpaksa saya pakai kereta itu meskipun dalam hati saya membantah pendapat materialistik ayah. Dan agar lebih selesa di hati, saya meletakkan kereta itu jauh dari tempat kuliah.
Di kuliah saya jatuh cinta pada teman sekuliah. Seorang gadis yang penuh pesona zahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya sangat menakjubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya. Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga menyintai saya. Saya merasa telah menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini dalam ikatan suci yang diredhai Allah, iaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakulti.
Maka datanglah saatnya untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu dan saudara mara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Selepas kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Sebaik saja saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan terus membanting gelas yang ada berdekatannya. Bahkan beliau mengancam: “Pernikahan ini tidak boleh terjadi selamanya!” Beliau menegaskan bahawa selama beliau masih hidup rancangan pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak terkira.
Hadirin semua, adakah Anda tahu apa sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku sedemikian kejam? Sebabnya, kerana ayah calon isteri saya itu adalah tukang cukur…..tukang cukur, ya sekali lagi…tukang cukur! Saya katakan dengan bangga. Kerana meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajipannya pada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak dilakukan para bangsawan “Pasha”. Melalui tangannya ia lahirkan tiga orang doktor, seorang jurutera dan seorang leftenan, meskipun dia sama sekali tidak pernah mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan seluruh keluarga berpihak pada ayah. Saya sendiri berdiri, tiada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki saya membawa pasangannya yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah, ibu terus merestui dan menyiapkan biaya majlis pernikahannya sebanyak lima ratus ribu pound. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak direstui sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina , bertukar ganti pasangan dan akhirnya menghamilkan pasangannya yang entah keberapa di luar aqad nikah, malah direstui dan diberi biaya maha besar?
Dengan senang ayah menjawab: “Kerana kamu memilih pasangan hidup dari golongan yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan teman wanita adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat keluarga besar Al Gonzouri”.
Hadirin semua, semakin perit luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya tentu sudah tentu saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat mahu datang, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina justeru terus dibiayai. Dan dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahawa cara dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya.
Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rancangan saya. Namun la haula wala quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan keluarga saya. Beliau pun menolak mentah-mentah untuk mengahwinkan puterinya dengan saya. Bahkan juga bersumpah tidak akan merestui hal itu selamanya, demi kehormatan keluarganya. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan hinaan kalangan “Pasha”. Namun puterinya berkeras ingin menikah dengan saya dan tidak akan menikah kecuali dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad bernikah dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami terseksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini terjadi kerana alasan status sosial, sedangkan keluarga dia menolak kerana alasan membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya kenapa orang–orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah berfikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke pejabat ma’adzun syari (petugas pencatat nikah) disertai tiga orang sahabat karibku. Kami berikan identiti kami dan kami minta ma’adzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syar’i mengikut madzhab Imam Hanafi. Ketika ma’adzun menutun saya: “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunnatullah wa rasulihi dan dengan mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai madzhab Imam Abu Hanifah Radiyallahu ‘anhu”. Seketika itu bercucuranlah air mata saya, airmata dia dan airmata ketiga sahabat saya yang tahu secara detail perjalanan menuju aqad nikah itu.
Kami keluar dari pejabat itu dengan rasmi sebagai suami-isteri yang sah di mata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia. Kami punya bukti sah sebagai suami isteri yang diakui negara dan diakui syariat. Kami telah bertekad siap mengahadapi kemungkinan hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan dukungan siapa pun kecuali pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya bisikkan dalam telinga isteri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, aqad nikah kami membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Sebaik saja mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Kereta dan segala kemudahan yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Kecuali beg lusuh berisi beberapa pasang pakaian dan duit sebanyak tujuh pound saja, hanya empat pound! Itulah sisa duit yang saya miliki selesai membayar duit aqad nikah di pejabat ma’adzun. Begitu pula dengan isteriku, ia turut diusir oleh
keluarganya.
Lebih tragis ia hanya membawa beg kecil berisi pakaian dan wang sebanyak dua pound, tidak lebih. Total, kami hanya pegang enam pound atau dua dolar. Ah, apa yang boleh kami lakukan dengan enam pound. Kami berdua bertemu di jalanan umpama gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak musim dingin. Kami menggigil. Rasa cemas, takut, sedih, dan sengsara bercampur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dakapan kasih sayang, rasa berdaya dan hidup
menjalari sukma kami.
“Habibi, maafkan Kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini Maafkan kanda!.
“Tidak Kanda tidak salah, langkah yang Kanda tempuh benar. Kita telah berfikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak boleh menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berfikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan tahu bahawa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini, percayalah, insya Allah, saya akan sentiasa mendampingi Kanda, selama Kanda setia membawa dinda di jalan yang lurus.
Kita akan buktikan pada mereka bahawa kita boleh hidup dan berjaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu, kita hulurkan tangan kita dan kita berikan senyuman kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Airmata mereka akan mengalir deras seperti derasnya airmata derita kita saat ini.” Jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan pengaruh yang luar biasa dalam diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi teringat bahawa satu bulan lagi kami akan dilantik menjadi doktor. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan dan wang sebanyak 40 pound.
Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di kaki lima kedai berdua sebagai orang melarat yang tidak punya apa-apa. Dalam kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di kaki lima kedai itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa wang pound itu kami boleh meminjam telefon di sebuah kedai dua puluh empat jam. Saya Berjaya menghubungi seorang teman yang boleh memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia bahkan menghantarkan kami dengan keretanya mencarikan lokandat (rumah penginapan) ala kadarnya yang murah.
Saat kami berteduh dalam bilik sederhana, segeralah kami disedarkan kembali bahawa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengharunginya berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami hidup dalam lokandat itu beberapa hari, sampai teman kami berjaya menemukan rumah sewa sederhana di daerah kumuh Syubra Kaimah.
Bagi kaum bangsawan, rumah sewa kami mungkin dipandang sepantasnya adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah kesayangan mereka mungkin lebih bagus dari rumah sewa kami. Namun bagi kami, ini adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,jika seorang gelandang tanpa rumah menemukan tempat berteduh, ia bagaikan mendapat hadiah agung dari langit.
Kebetulan yang tuan punya rumah sedang memerlukan wang, sehingga dia menerima aqad sewa tanpa wang jaminan dan wang perkhidmatan lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah ke sana. Lalu kami membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tidak lebih dari sebuah tilam kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kerusi dan satu dapur gas sederhana sekali, kipas, dan dua cangkir dari tanah, itu saja tak lebih.
Dalam hidup yang bersahaja dan belum boleh dikatakan layak itu, kami tetap merasa bahagia, kerana kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah hidup dengan ghairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan syurga di akhirat. Kerana di syurga Allah menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnul Qayyim, bahawa ni’matnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setitis rasa ni’mat yang disediakan Allah di syurga. Jika percintaan suami isteri itu ni’mat, maka syurga jauh lebih ni’mat dari itu semua.
Ni’mat cinta di syurga tidak boleh dibayangkan. Yang paling ni’mat adalah cinta yang diberikan Allah kepada penghuni syurga, saat Allah memperlihatkan wajahNya. Dan tidak semua penghuni syurga berhak meni’mati indahnya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk mencapai ni’mat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya iaitu Al-Quran dan Sunnah. Yang konsisten mengikuti
petunjuk Allahlah yang berhak memperoleh segala cinta di syurga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan diri kepadaNya. Isteri saya jadi rajin membaca Al-Quran, lalu memakai tudung, dan tiada putus solat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi puteri raja yang cantik mengghairahkan. Di akhir malam ia menjelma menjadi Rabiah Adawiyah yang larut dalam samudera munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang dia adalah doktor yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan berperibadian kuat, ia bertekad untuk menempuh hidup berdua tanpa bantuan siapa pun, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia juga seorang wanita yang pandai mengurus wang . Wang sebanyak 55 pound yang tersisa setelah membayar rumah cukup untuk makan dan pengangkutan selama satu bulan.
Tetangga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami juga mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua adalah doktor. Sampai-sampai ada yang kata tanpa disengaja: “Ah, kami ingat para doktor itu pasti semuanya kaya, ternyata ada juga ya yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”
Akrabnya persahabatan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil layaknya seperti saudara sendiri. Ada yang menawari isteri agar menumpangkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka. Kerana kami memang doktor yang sibuk. Ada yang membelikan keperluan dapur. Ada yang membantu membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan tetangga itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami.
Yang lebih menyakitkan, mereka tidak membiarkan kami hidup tenang. Suatu malam ketika kami sedang tidur nyenyak,tiba-tiba rumah kami diketuk dengan kasar dan ditendang oleh empat penjahat kiriman ayah saya. Mereka merosakkan segala perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya mereka patah-patahkan, begitu juga kerusi. Katil tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam dan memaki dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman: “Kalian tidak akan hidup tenang, kerana berani menentang Tuan Pasha!” Yang mereka maksudkan dengan “tuan pasha” adalah ayah saya yang saat itu pangkatnya naik menjadi jeneral.
Keempat-empat banjingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis bersama-sama berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami atur kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan juga kapas-kapas yang berserakan, kami masukkan dalam tilam dan kami jahit tilam yang koyak-rabak tidak karuan itu. Kami susun semula buku-buku yang bersepah. Meja dan kerusi yang pecah itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tidur kepenatan dengan tangan erat bergenggaman, seolah-olah eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang
meringankan tekanan hidup ini. Benar, firasat saya mengatakan ayah tak akan membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat berita dari seorang teman bahawa ayah telah merancang scenario keji untuk memenjarakan isteri saya berdua dengan tuduhan wanita pelacur. Semua orang juga tahu kuatnya pegawai perisik ketenteraan di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di bawah telapak kaki mereka. Saya hanya boleh pasrah segalanya kepada Allah mendengar hal itu.
Dan masya Allah! Ayah memang merancang rancangan itu dan tidak mengurangkan niat jahatnya itu kecuali setelah seoarang teman karibku berjaya memperdaya beliau dengan bersumpah akan berjaya memujuk saya agar menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan skenario itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih keras dan akan berbuat lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap minggu sambil meminta beliau bersabar, sampai berjaya meyakinkan saya untuk menceraikan isteriku. Inilah rancangan temanku itu untuk terus menghulur waktu, sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya dapat mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saatnya masa wajib militer (tentera). Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang sangat saya takutkan, tidak ada kemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris selama satu tahun saya tidak dapat tidur kerana memikirkan keselamatan isteri tercinta. Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan hamba-hambaNya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapat kesempatan bekerja sementara di sebuah klinik kesihatan dekat rumah kami. Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah.
Selesai wajib militer, saya terus menumpahkan segenap rasa rindu pada kekasih hati. Saat itu adalah musim bunga. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestin yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia dan lepas dari belenggu derita.
Sambil menatap ke kaki langit
Kukatakan padanya
Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai Subuh tiba
Bukan kerana ketiadaan kata-kata
Tetapi kerana kupu-kupa kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku, besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan kita akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
***
Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya istirehat dari nestapa dan derita. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah berkeras untuk masuk program Magister bersama. Gila! Idea gila! Fikirku saat itu. Bagaimana tidak. Ini adalah saat yang paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai doktor di Negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah terfikir untuk meraih Magister.
Saya pujuk dia untuk menghentikan niatnya. Tapi dia tetap berkeras untuk meraih Magister dan menjawab dengan logik yang tak kuasa saya tolak: “Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari fakulti sehingga akan memperolehi keringanan dalam pembiayaan, kita harus bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita reguk sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi akademik kita, dan kita wujudkan
mimpi indah kita.”
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja isteriku,hatiku pun luruh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup baru yang lebih menderita. Kemasukan hanya cukup-cukup untuk hidup, sementara keperluan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktikal, buku dan lain-lain. Nyaris kami hidup seperti kaum sufi. Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama dengan perut lapar, teman setia kami adalah air paip. Ya, air paip. Masih terakam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai didera rasa lapar tak terkira, kami ubati dengan air. Yang terjadi, kami malah muntahmuntah. Terpaksa wang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengisi perut. Siang hari, jangan tanya, kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.
Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat isteri saya mengeluh, menangis, sedih atau pun marah kerana suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high class,tiba-tiba harus hidup sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak mampu lagi melukiskan rasa sayang, penghormatan dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang nampak di depan saya adalah wajah isteri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dan senyumannya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang!” bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat
membara.
Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelaran Master dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum keluar dari derita. Setelah meraih Master pun kami masih mengecap hidup susah, tidur di atas tilam nipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami. Sampai akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha keras, kami berjaya menandatangani kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait.
Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas tilam empuk. Kami kenal kembali makanan lazat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua tahun setelah itu kami pun dapat membeli villa bertingkat dua di Heliopolis, Cairo. Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang sesuai. Tetapi isteriku memang “gila”. Ia kembali mengeluarkan idea gila, iaitu idea untuk melanjutkan program doktor spesialis di London, juga dengan alasan logik yang susah saya tolak:
“Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini memiliki wang yang cukup untuk mengambil doktor di London. Setelah bertahun-tahun kita hidup di lorong buruk dan kotor, tak ada salahnya kita raih sekalian tahap akademik tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”
Ku cium kening isteriku, bismillah kita ke London. Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berjaya meraih gelaran doktor dari London. Saya spesialis saraf dan isteri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelaran doktor spesialis, kami menandatangani kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya.
Bahkan saya diangkat sebagai doktor ahli sekaligus direktor rumah sakitnya dan isteri saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universiti. Kami pun dikurniai seorang puteri yang cantik dan cerdas. Saya namakan dia dengan nama isteri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan-kebajikan.
Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertambahlah rasa cinta kami. Ini cerita nyata yang ingin saya sampaikan sebagai nasihat hidup. Jika hadirin sekalian ingin tahu isteri solehah yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru muda yang menunduk di barisan depan kaum ibu, tepat samping kiri artis berjilbab Huda Sulthan, dialah isteri saya tercinta yang mengajrkan bahawa penderitaan boleh mengekalkan cinta, dialah Prof. Shiddiqa binti Abdul Aziz!”
Tepuk tangan bergemuruh mengiri gegak kamera video menyuting sosok perempuan separuh baya yang nampak anggun dengan jilbab biru tuanya. Perempuan itu sedang mengusap cucuran airmatanya. Kamera itu juga merakam mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai dan segenap hadirin yang menghayati cerita itu dengan saksama.
***************
Disarikan dari novel "Di Atas Sajadah Cinta" karya Habiburrahman El Shirazy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar