Senin, 19 September 2011

"Wanita Barakah . . . Murah Maharnya"


Melanjutkan artikel kemarin kawan, mengenai langkah-langkah yang perlu dicermati dalam mewujudkan keluarga sakinah penuh berkah. Tahapan selanjutnya untuk menuju keberkahan, terletak pada “Wanita Barakah” itu sendiri.

Sebagaimana kita ketahui, menikah hampir menyamai kemuliaan agama. Perjanjian nikah disebut mitsaqan-ghalizhan. Istilah ini tidak pernah dipakai dalam Al Qur’an, kecuali hanya untuk tiga peristiwa. Satu untuk perjanjian akad nikah, dan dua kali untuk perjanjian tauhid.

Pernikahan sedemikian pentingnya dalam pandangan Islam. Pernikahan menjadi sunnah Rasul. At-Tirmidzi, Imam Ahmad ibn Hanbal, dan Al-Baihaqi pernah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Empat macam perkara termasuk sunnah-sunnah para Rasul, yaitu: memakai pacar, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah."

Pernikahan merupakan bukti kekuasaan Allah Yang Maha Mulia. Ia menciptakan kasih-sayang dan kerinduan-kerinduan. Ia memberikan ketenteraman yang tidak pernah bisa dirasakan oleh orang yang belum menikah. Rumah bagi mereka yang menikah adalah tempat yang menyejukkan. Tiap-tiap anggota keluarga insya-Allah memperoleh ketenteraman dan terjalin ikatan kasih-sayang.

Pernikahan yang barakah akan menumbuhkan al-'athifah (jalinan perasaan) yang demikian. Mereka akan mendapati pernikahan sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat Ar-Rum ayat 21, surat yang paling populer untuk penghias undangan nikah, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram dengannya, dan dijadikan- Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang mengetahui."
Dalam pernikahan yang barakah, insya-Allah akan tumbuh sakinah.

Terus, pernikahan yang bagaimanakah yang tidak akan pernah ada kebarakahan di dalamnya?
Rasulullah Saw. menunjukkan, "Barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan laki-laki itu meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak pernah pernikahan itu akan dibarakahi-Nya."
Sebagian pernikahan kurang barakah karena niatnya yang tidak tepat. Sebagian disebabkan oleh berbagai hal selama proses berlangsung. Sebagian dipengaruhi oleh pelaksanaan pernikahan. Sebagian disebabkan akhlak setelah menikah.
Disebutkan pula bahwa “Wanita Barakah”, menjadi faktor penunjang terwujudnya keberkahan dalam keluarga sakinah itu sendiri.

Lantas siapakah yang dimaksud “Wanita Barakah” itu ???
Telah dijelaskan dalam sebuah hadist bahwa,"Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk akhlaknya."

Memberatkan mahar dapat membuat pernikahan kehilangan barakahnya. Istri mendapati rumah tangganya penuh kegersangan. Sedang suami merasakan kehampaan ketika berada di rumah. Melihat istri tidak membuatnya bertambah sayang. Rumah tidak terasa lapang, meskipun secara fisik tampak luas dan besar.

Pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Anas r.a., Rasulullah bersabda, "Orang yang menikahi wanita karena kedudukannya, Allah hanya akan menambahinya kehinaan, yang menikahinya karena kekayaannya, Allah hanya akan memberinya kefakiran; yang menikahinya karena nama besar keturunannya, Allah justru akan menambahinya kerendahan. Namun, laki-laki yang menikahi wanita hanya karena menjaga pandangan mata dan memelihara nafsunya atau untuk mempererat hubungan kasih-sayang (silaturrahim), maka Allah akan membarakahi laki-laki itu dan memberi kebarakahan yang sama pada wanita itu sepanjang ikatan pernikahannya."

Kira-kira, berapapah ukuran mahar yang disebut terlalu besar?
Mahar, dikatakan terlalu besar apabila :
  • Pertama, apabila mahar yang diberikan melebihi kemampuan yang dimiliki suami,
  • Kedua, mahar yang diberikan berlebihan dibanding apa yang biasa berlaku dalam masyarakat. Sekalipun suami mampu memberikan mahar melebihi mitsil (mahar yang biasa berlaku dalam masyarakat), ada baiknya untuk menahan diri. Kelak, ia bisa memberikannya sebagai hadiah kepada istrinya. Ini akan menambah kecintaan istri.
Adapun akibat dari suatu mahar yang berlebih-lebihan adalah sebagai berikut :
  • Pertama, madharat dan mafsadat bagi istri. Ini bisa terbawa dalam keluarga yang mereka bangun kelak.
  • Kedua, mahar berlebih bisa mempengaruhi sistem pernikahan masyarakat.

Ketika pernikahan berlangsung melalui proses sederhana dan mahar yang ringan, insya-Allah yang tumbuh dalam hati suami adalah kasih-sayang dan penerimaan. Sedang pada wanita adalah ridha dan kesetiaan. Ketika suami membayarkan mahar yang ringan karena yang dikehendaki istri bukanlah besarnya mahar, suami justru merasa masih belum banyak berbuat untuk istrinya. Ia perlu menjaga kepercayaan istri yang diberikan kepadanya. Insya-Allah, ia akan merawat kerelaan istrinya dengan menyuburkan kasih-sayang, penghormatan, dan kepercayaan.

Pada mahar yang ringan, ada kepercayaan tentang ketulusan cinta istri. Ada kepercayaan tentang kesediaan istri untuk berjuang bersama-sama. Ketika Ummu Sulaim mengatakan tidak meminta apa-apa kecuali keislaman Abu Thalhah, yang terkesan bukanlah keinginan calon istri untuk kepentingan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu: misi. Misi keselamat Alhasil, di balik ringannya mahar ada kekayaan jiwa. Inilah kekayaan yang menenteramkan jiwa.

Sebaliknya, ketika mahar berlebihan, suami merasa telah memberi ikatan. Ia telah banyak berbuat untuk mencapai ikatan pernikahan. Sehingga ia tidak begitu perlu untuk membina ikatan lagi. Sekarang, istrilah yang harus banyak berbuat untuk membuat suasana rumah tangga seperti yang ia kehendaki. Istri harus memahami tuntutan-tuntutan suami yang sayangnya sering tidak dikemukakan secara lisan. Bukankah istri “seharusnya sudah mengerti apa tugasnya"? Alhasil, pernikahan demikian tidak diikat dengan ikatan jalinan perasaan (al- 'athifah).

Pernikahan semacam ini diikat dengan mahar. Ketundukan istri pada suami bukan karena semakin dalamnya kecintaan, melainkan karena besarnya kekuasaan dan wewenang suami. Atau, semata-mata karena syari'at memerintahkan kepatuhan. Kepatuhan yang pertama bisa semakin menyuburkan jalinan perasaan (al- 'athifah) istri maupun suami. Sehingga hubungan batin mereka semakin dekat sebagaimana 'Abdurrahman bin Abu Bakar dan Atikah binti Amr. Sedang yang kedua bisa semakin menjauhkan keduanya dari perasaan saling merindukan dan kasih sayang. Ikatan mereka bukan lagi al-'athifah (jalinan perasaan), melainkan serangkaian kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab hukum dan sosial.

Demikianlah langkah-langkah yang bisa disinyalir sebagai aspek penunjang terwujudnya keluarga sakinah penuh berkah, yang saya rangkum dari ebook “Kado Pernikahan”. Mohon kritik saran dari kawan-kawan semua, kalaupun ada kesalahan dalam proses perangkuman ini.
Terima kasih . . . .Semoga bermanfa'at . . .
@_@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar