Rabu, 09 Januari 2013

AL IKHLAS



Bismillahirrahmanirrahiim . . . 

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh . .
.


Lama . . . lama . . .rasanya jari ini menari, mengalun merangkai huruf demi huruf hingga menjadi sebuah wacana. Lama pula sebuah rasa menjumput, menyulam serpihan yang berserak dan bercecer, menyajikan sesuatu yang mungkin akan sedikit memberi manfa'at dan keberkahan. Aku kangeeeennn sekali . . . .

Kali ini, aku hadir kembali, kawan. Mengobati sebuah rasa . . . cieee . . . cieee . . .

Jumputan kali ini, mengetengahkan tentang tafsir Surah Al Ikhlas. Melanjutkan tafsir sebelumnya AN NAAS dan AL FALAQ. Yang belum sempat mampir, silahkan ditengok-tengok dulu ya, kawan.

OK ! Langsung saja kawan, kita pelajari tafsir Al Ikhlasnya . . . semoga berkah dan bermanfa'at bagi kita semua  . . . aamiin . . .

@_@

*****


Qul [ katakanlah ] wahai Muhammad kepada orang yang bertanya kepadamu dengan pertanyaan gambarkan kepada kami tentang Rabbmu yang membuatmu mengajak kami untuk mengimani dan menyembah Nya….Shiflana rabbaka, am min dzahabun huwa, am min nahaasun am min sufrun ?....Apakah dari emas atau dari tembaga atau dari perak ?....Katakanlah bahwa….Huwa Allaahu Ahadun [ Dia lah Allah, Yang Maha Esa ] yaitu Dia yang disifati dengan sifat Uluhiyah dan Rububiyah yang mencakup semua syarat kesempurnaan sesuai dengan nama – nama dan sifat yang sempurna, yang tersimpan dalam Dzat yang disifati dengan sifat keesaan ( Ahad ) yaitu wahda fii shifaatihi, wahda fii af’aalihi, maknanya sebelum segala sesuatu ada maka Dia ada ( Wujud ) dan segala sesuatu itu menjadi ada ( maujud ) karena Wujud Nya, karena perbuatan Nya ( Af’alihi ). Dia terbebas dari keterbilangan, yang memiliki kebebasan mutlaq dalam wujud, kehidupan dan kekuatan. Dia yang tetap berada tanpa membutuhkan tempat dan arah dalam kekekalan yang abadi ( Baqa’ ), maknanya ketika segala sesuatu menjadi tiada maka Dia tetap ada. Dia tidak bisa sama sekali diukur dengan berbagai macam timbangan dan ukuran takaran serta tidak tercakup oleh berbagai macam pengaturan karena semua itu berasal dari Nya, dari perbuatan Nya, dari kuasa Nya dan dari kehendak ketetapan Nya ( Qudrah dan Iradhatihi ).

Sebab bagaimana mungkin Allah menjadi objek pengaturan sedangkan Dia….Allaahu ash Shamadu [ Allah yang bergantung kepada Nya segala urusan ] yaitu Allaahu Kaafi likulli hawaijil makhluuqu ‘ala ad dawaamu. Maknanya Allah lah yang mencukupi segala kebutuhan makhluq Nya terus menerus tanpa henti. Karena Allah lah yang menciptakan, memiliki, menguasai, mengatur dengan adil dan bijaksana Nya sehingga di alam manapun seluruh makhluq Nya berada maka Dia lah yang mengaturnya (Mudabbiru).

Maka segala bentuk pengaturan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah maka hal itu turut campurnya manusia ke dalam pengaturan Nya ( suu’ul adab ). Pengaturan Nya adalah pengaturan terbaik yang tiada bandingnya. Manusia bukanlah hidup tetapi dihidupkan, bukan duduk tetapi didudukkan, bukan berjalan tetapi dijalankan. Maka dengan keadilan dan kebijaksanaan Nya maka setiap saat yang diberikan kepada masing - masing manusia adalah selalu pemberian terbaik Nya. Jadi manusia dilarang berkeluh kesah, putus asa, menyesal dan marah dalam kondisi apapun karena semuanya itu sudah diatur dengan pengaturan terbaik Nya maka jangan ikut – ikutan mengatur jika hal itu bertentangan dengan hukum – hukum Nya karena hal ini sama artinya dengan melawan Nya.

Dia memiliki kekuasaan untuk menolong, untuk mengangkat derajad sekaligus mencelakakan dan menghinakan makhluq Nya. Dialah yang menjadi tujuan dan tempat kembali semua yang dhahir dan yang batin dari makhluq Nya, yang nyata dan yang ghaib di dunia dan di akhirat. Dan di sisi lain Dia sendiri tidak membutuhkan apapun dari makhluq Nya.

Bagaimana mungkin Dia membutuhkan sesuatu dari makhluq Nya sedangkan Dia adalah Allah yang….Lam Yalid [ tidak beranak ]. Sebab beranak hanya pantas diperuntukkan bagi sesuatu yang berketurunan karena takut pada ketiadaan dan kemusnahan karena tidak ada generasi yang bisa meneruskan apa yang diusahakan. Sedangkan Allah dengan kekuasaan Nya, keberadaan Nya yang wajib dan kekekalan Nya yang abadi tidak mungkin mengindikasikan adanya kekurangan semacam itu. Sebab pada diri Nya tidak berlaku kata berkesudahan dan keberpindahan….Wa [ dan ] Dia….Lam Yuuladu [ tiada pula diperanakkan ] untuk itu semua. Sebab segala sesuatu yang dhahir dan yang batin, yang azali dan yang abadi adalah berasal dari Nya, dengan Nya, untuk Nya dan dalam diri Nya. Segala sesuatu yang diharuskan ada dari makhluq sejak zaman azali tidak keluar dari cakupan baying – baying nama Nya dan pantulan sifat Nya. Jadi bagaimana mungkin bisa dibayangkan ada Sesutu selain Dia yang mendahului diri Nya padahal tidak ada sesuatu pun selain diri Nya yang menjadi ada sampai Dia menciptakannya.

Wa [ dan ] Allah sendirian dalam keesaan Nya, Maha Esa dalam kesendirian Nya dan merdeka dalam kebebasan Nya. Sebab….Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahadun [ tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia ]. Tidak sebelum Dia maupun sesudah Dia. Bahkan tidak ada Tuhan selain diri Nya dan tidak ada yang maujud selain Dia.

Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa pada suatu hari ada seorang laki – laki yang mendengar seseorang membaca Surah Al Ikhlash dan mengulang – ulangnya. Ketika pagi harinya laki – laki tersebut menghadap kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menceritakan hal itu, namun yang dihitung olehnya dan dilaporkannya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sedikit saja yaitu sedikit qiraah Surah Al Ikhlash yang dibaca oleh orang tadi, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : Demi Tuhan Yang menggenggam jiwaku, Surah Al Ikhlash itu setara dengan sepertiga Al Qur’an. [ Al Bukhari ].

Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada para sahabatnya : Apakah seseorang diantara kalian tidak mampu membaca sepertiga dari Al Qur’an dalam satu malam ? Maka hal itu tentu saja sangat berat untuk mereka, lalu mereka balik bertanya : Adakah di antara kami yang dapat melakukannya wahai Rasululullah ?, beliau kemudian menjawab : Ketahuilah Allaahu al waahidu ash shamadu ( Surah Al Ikhlash ) itu setara dengan sepertiga Al Qur’an. [ Muttafaq ‘Alaih ].

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘ Alaihi wa Sallam bersabda : Berkumpullah, karena aku akan membacakan kepada kalian sepertiga dari Al Qur’an. Lalu orang – orang disekitar Nabi Shallallahu ‘ Alaihi wa Sallam pun berkumpul, kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam rumah dan sesaat kemudian keluar lagi seraya melantunkan ayat – ayat dari Surah Al Ikhlash, kemudian beliau masuk lagi ke dalam rumahnya. Para sahabat pun kebingungan dan saling bertanya satu sama lain, salah satu dari mereka mengatakan : Aku berpendapat bahwa belaiau akan menerima sesuatu dari langit, itulah yang membuat beliau masuk ke dalam rumahnya. Tidak lama kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar dari rumahnya dan berkata : Bukankah aku akan membacakan kepada kalian sepertiga dari Al Qur’an ?. Ketahuilah bahwa Surah Al Ikhlash itu setara dengan sepertiga Al Qur’an. [ Al Muslim ].

Beberapa ulama berpendapat bahwa Al Qur’an itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu tentang hukum, tentang janji dan ancaman dan tentang nama – nama dan sifat – sifat Allah. Dan Surah Al Ikhlas mencakup nama – nama dan sifat – sifat Allah sehinggan surah ini disetarakan dengan sepertiga Al Qur’an.

Penegasan dalil tektual yang tidak memerlukan lagi penafsiran adalah riwayat dari Abu Darda’bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : Sesungguhnya Allah membagi Al Qur’an menjadi tiga bagian. Dan Allah menjadikan Surah Al Ikhlash salah satu bagian dari ketiganya.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengutus seseorang untuk memimpin satu pleton tentara muslimin dengan membawa satu tugas. Orang tersebut juga diangkat oleh sahabat lainnya untuk menjadi imam shalat mereka, namun mereka menjadi bingung karena imam mereka selalu menutup qiraah shalatnya dengan Surah Al Ikhlash. Sepulang mereka dari tugas tersebut mereka segera mengadukan hal ini kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan beliau berkata : Tanyakan kepadanya mengapa ia melakukan hal itu ?. Lalu mereka pun segera menanyakannya dan orang tersebut menjawab : Karena di dalam surah tersebut terdapat sifat Tuhan, oleh sebab itulah aku senang membaca surah tersebut. Lalu jawaban ini disampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang disambut dengan kegembiraan beliau, beliau kemudian bersabda : Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa mencintainya. [ Al Muslim ].

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan bahwa pernah ada seorang laki – laki dari golongan anshar yang dipercaya untuk menjadi imam di masjid Quba. Akan tetapi setiap kali ia selesai membaca Surah Al Fatihah ia selalu mengiringinya dengan membaca Surah Al Ikhlash hingga selesai, dan setelah itu barulah ia membaca surah lainnya. Hal ini dilakukannya dalam setiap rakaat sehingga membuat para sahabat yang lain kebingunan dan akhirnya memutuskan untuk berbicara kepadanya. Mereka mengatakan : Engkau selalu membaca Surah Al Ikhlash setelah Surah Al Fatihah, lalu apakah engkau tidak cukup dengan membaca surah tersebut hingga engkau juga membaca surah lainnya setelah itu ?, alangkah lebih baiknya engkau mau memilih antara hanya membaca Surah Al Ikhlash atau hanya membaca surah lainnya. Ia menjawab : Aku tidak mungkin tidak membaca Surah Al Ikhlash. Kalau kalian masih menghendaki aku menjadi imam kalian maka ketahuilah bahwa aku akan terus membacanya, namun jika kalian tidak menghendakinya maka kalian boleh mencari imam lainnya. Namun sayangnya masyarakat di sana masih mempercayainya dan menganggapnya sebagai imam yang terbaik, mereka tidak mau jika harus memilih imam lainnya.

Ketika pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengunjungi mereka disana maka masyarakat pun segera menanyakannya hal itu kepada beliau, lalu beliau bertanya kepada sang imam : Wahai fulan, apa sebabnya kamu tidak mau mendengarkan permintaan teman – temanmu ? Dan apa yang menyebabkan kamu selalu membaca Surah Al Ikhlash pada setiap rakaatnya ?. Ia menjawab : Wahai Rasulullah, aku sangat mencintai surah tersebut. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata : Kecintaanmu terhadap surah itulah yang akan memasukkan kamu ke dalam syurga di akhirat nanti. [ At Tirmidzi ].

Ibnu Al Arabi mengatakan bahwa inilah dalil yang kuat ( rajih ) sebagai hujjah diperbolehkannya mengulang satu surah pada setiap rakaat. Dan dibolehkan untuk membaca satu surah dalam majelis dengan alasan karena membaca Al Qur’an adalah ibadah dan selalu membaca satu surah secara terus menerus pada halaqah – halaqah karena kecintaan terhadap surah tersebut dengan tanpa mengecilkan arti keutamaan dan keagungan surah – surah yang lain.

Bahkan ketika membacanya pada shalat tarawih maka Surah Al Ikhlas seringkali dijadikan surah yang paling banyak dibaca karena keutamaannya. Bahkan menurut Imam Malik bin Anas pada shalat tarawih bacaan surah dengan menghatamkan Al Qur’an di masjid bukanlah suatu rutinitas yang disunnahkan.

Keutamaan atau fadhilah membaca Surah Al Ikhlas sangat besar sekali. Seperti yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa pada suatu hari aku bepergian bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ketika di perjalanan tiba – tiba kami mendengar seseorang membaca Surah Al Ikhlash, lalu beliau berkata : Telah ditetapkan baginya. Aku pun lantas bertanya kepada belaiau : Apakah yang telah ditetapkan baginya wahai Rasulullah ?. Beliau menjawab : Syurga. [ At Tirmidzi ].

Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit Al Hafidz juga meriwayatkan dari Isa bin Abi Fatimah Ar Razi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Murka Allah akan muncul ketika sebuah lonceng dibunyikan, namun setelah malaikat turun ke bumi dan mengelilinginya, lalu mendapatkan ada manusia masih melantunkan Surah Al Ikhlash maka kemurkaan Allah pun luntur bersama semakin banyaknya para pembaca surah tersebut.

Sahal bin Sa’ad as Sa’idi meriwayatkan bahwa pada suatu ketika ada seorang laki – laki yang mengeluh kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai kefakirannya dan sulitnya kehidupan yang ia jalani, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya : Apabila kamu ingin memasuki sebuah rumah maka berilah salam jika ada seseorng di dalam rumah tersebut, namun jika tidak ada maka bershalawatlah kepadaku dan bacalah olehmu Surah Al Ikhlas satu kali saja. Kemudian setelah laki – laki tersebut mempraktekkan nasehat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tadi, seakan rizki yang didapakatkannya tidak pernah berhenti mengalir bahkan para tetangganya pun ikut merasakan rizki yang sangat melimpah itu.

Sebagai hikmah barangkali yang disebutkan oleh Ibnu Katsir sebuah riwayat yang sanadnya tergolong lemah akan tetapi cukup untuk dijadikan hikmah dan ibrah adalah riwayat dari Ats Tsa’labi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa ketika kami bersama dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perang Tabuk, kami melihat matahari yang terbit pada hari itu sangat putih bercahaya dan bersinar dengan indah, tidak pernah kami melihat matahari terbit seperti itu sebelumnya. Lalu malaikat Jibril turun dari langit dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung bertanya kepadanya : Wahai Jibril, mengapa hari ini matahari yang terbit begitu putih sinarnya, aku tidak pernah melihatnya terbit seperti itu sebelumnya.

Malaikat Jibril menjawab : Ketahuilah bahwa Mu’awwiyah bin Mu’awwiyah Al Laitsi meninggal dunia di kota Madinah hari ini. Oleh karena itu Allah mengutus tujuh puluh ribu malaikat untuk turun ke bumi dan ikut menshalatkannya.

Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kembali : Apa yang telah dilakukan oleh Mu’awwiyah hingga ia mendapatkan kehormatan itu ?.

Malaikat Jibril menjawab : Karena ia sering membaca Surah Al Ikhlash pada malam hari, pada siang hari, pada saat ia berjalan, pada saat ia berdiri, pada saat ia duduk dan pada setiap keadaannya, wahai Rasulullah, apakah engkau ingin agar aku menghentikan waktu di bumi agar engkau dapat shalat atas jenazahnya ?.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab : Baiklah. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibawa oleh malaikat Jibril ke kota Madinah untuk ikut serta menshalatkan jenazah Mu’awwiyah dan setelah itu dikembalikan lagi ke Tabuk.

Sumber : Keluarga Sakinah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar