Senin, 27 Agustus 2012

Khabbab bin Arats

 Bismillahirrahmanirrahiim . . .

Apa kabar kawan ? Tidakkah Allah masih menumbuhkan kuku-kuku jarimu hingga tanganmu perkasa melakukan banyak hal ? Pada jenak ini, indera pandanganmu masihkah mampu membaca tulisan ini dengan baik ? Udara masih terjaga bukan untuk mengisi penuh paru-parumu hingga kau bernafas dengan leluasa? Dan jantungmu masihkah pula berdetak untuk mereguk sisa porsi waktu ? Jika demikian, saya pasti mendapat jawaban “Alhamdulillah luar biasa” untuk pertanyaan di atas.

Kawan, pinjam waktumu sebentar. Bersiaplah untuk sejenak mengalun bersama kisah seorang Khabbab bin Arats. Insya Allah sebuah kisah pengabdian dan pengorbanan , yang mudah-mudahan pesonanya membuat kita juga menjadi sepertinya. Menjadi seorang pengabdi dan pengorban sejati.

*****

Serombongan orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab bin Arats dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Memang, Khabbab bin Arats seorang pandai besi yang ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekah dan dikirimnya ke pasar-pasar.

Berbeda dengan biasanya, Khabbab bin Arats yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ketika itu tidak dijumpai oleh rombongan Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah menunggu kedatangannya. Beberapa lama kemudian, datanglah Khabbab bin Arats sedang pada wajahnya terlukis tanda tanya yang bercahaya dan pada kedua matanya tergenang air tanda sukacita, lalu duduk di dekat mereka.

Mereka segera menanyakan kepada Khabbab bin Arats, “Sudah selesaikah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab bin Arats?” Sementara itu air mata Khabbab bin Arats sudah kering, dan pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, katanya, “Sungguh, keadaannya amat mena’jubkan.”

Orang-orang itu kembali bertanya kepadanya, “Hai Khabbab bin Arats, keadaan mana yang kamu maksudkan? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apakah sudah selesai kamu buat?” Dengan pandangannya yang menerawang seolah-olah mimpi, Khabbab bin Arats lalu bertanya, “Apakah tuan-tuan sudah melihatnya? Dan apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya?”
Mereka saling pandang diliputi tanda-tanya dan keheranan. Dan salah seorang di antara mereka kembali bertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya, “Dan kamu, apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab bin Arats?”

Khabbab bin Arats menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik bertanya, “Siapa maksudmu?” Mereka mengatakan, “Orang yang kamu katakan itu.” Maka Khabbab bin Arats memberikan jawabannya setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tak dapat dipancing-pancing.

Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukankah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, tetapi karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang. Maka dalam keadaan masih terharu dan terpesona serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, disampaikanlah jawaban, katanya, “Benar, saya telah melihat dan mendengarnya.

Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya.”
Sekarang orang-orang Quraisy pemesan senjata itu mulai mengerti, dan salah seorang di antara mereka berseru, “Siapa orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi Anmar?” 
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab bin Arats menyahut, “Siapa lagi, hai Arab shahabatku, siapa lagi di antara kaum anda yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar cahaya selain ia seorang?”

Seorang lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru pula, “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad.” Khabbab bin Arats menganggukkan kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta katanya, “Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang.” Dan setelah itu Khabbab bin Arats tidak ingat lagi apa yang diucapkannya, begitu pun apa yang diucapkan orang kepadanya. Yang diingatnya hanyalah bahwa setelah beberapa saat lamanya ia tak sadarkan diri dan ketika siuman mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tak ada lagi, sedang tubuhnya bengkak-bengkak dan tulang-tulangnya terasa sakit, dan darahnya yang mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya.

Kedua matanya memandang berkeliling dengan tajam, kiranya tempat itu amat sempit untuk dapat melayani pandangan tembusnya. Maka dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di muka pintu rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedang kedua matanya yang mulia berkelana panjang menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan kiri. Dan tiadalah ia berhenti sampai jarak yang biasa dikenal oleh manusia, tetapi ia ingin hendak menembus jarak jauh yang tidak terjangkau.

Memang, kedua matanya itu ingin menyelidiki kejauhan yang tidak terjangkau dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di kota Mekah, orang-orang di setiap tempat serta pada segala masa umumnya. Wahai, mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pada hari itu, merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju kejauhan ghaib dalam kehidupan seluruh ummat manusia?

Demikianlah Khabbab bin Arats tenggelam dalam renungan tinggi dan pemikiran mendalam, dan setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan mempersiapkannya untuk menerima siksaan dan penderitaan baru. Dan mulai saat itu Khabbab bin Arats pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya. Didapatkannya kedudukan itu di antara orang-orang yang walau pun mereka miskin dan tak berdaya, tetapi berani tegak menghadapi kesombongan Quraisy, kesewenangan dan kegilaan mereka.

Diperolehnya kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran. Khabbab bin Arats berdampingan dengan orang yang menyampaikan berita gembira munculnya kejayaan Agama Allah, yakni Tuhan satu-satunya yang berhak diibadahi dan segala peraturannya dengan ikhlas ditaati, serta menyampaikan tibanya saat jaya bagi orang tertindas yang tidak berdaya.

Khabbab bin Arats akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya. Dan dengan keberanian luar biasa, Khabbab bin Arats memikul tanggung jawab semua itu sebagai seorang perintis.

Berkatalah Sya’bi, “Khabbab bin Arats menunjukkan ketabahannya, hingga tak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga terbakarlah dagingnya.”

Kafir Quraisy telah merubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab bin Arats yang dijadikannya sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka masukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian mereka lilitkan ke tubuh, pada kedua tangan dan kedua kaki Khabbab bin Arats . Dan pernah pada suatu hari Khabbab bin Arats pergi bersama kawan-kawannya sependeritaan menemui Rasulullah saw. tetapi bukan karena kecewa dan kesal atas pengorbanan, hanyalah karena ingin dan mengharapkan keselamatan. Kata mereka, “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda hendak memintakan pertolongan bagi kami?”

Marilah kita dengarkan Khabbab bin Arats menceritakan langsung kepada kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri, “Kami pergi mengadu kepada Rasulullah saw. yang ketika itu sedang tidur berbantalkan kain burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Permohonan kami kepadanya. “Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memohonkan kepada Allah pertolongan bagi hami?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun duduk, mukanya jadi merah, lalu sabdanya, “Dulu sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang disiksa, tubuhnya dikubur kecuali leher ke atas, lalu diambil sebuah gergaji untuk menggergaji kepalanya, tetapi siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari Agamanya. Ada pula yang disikat antara daging dan tulang-tulangnya dengan sikat besi, juga tidak dapat menggoyahkan keimanannya. Sungguh Allah akan menyempurnakan hal tersebut, hingga setiap pengembara yang bepergian dari Shan’a ke Hadlramaut, tiada takut kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla, walaupun serigala ada di antara hewan gembalaannya, tetapi saudara-saudara terburu-buru.”

Khabbab bin Arats dengan kawan-kawannya mendengarkan kata-kata itu, bertambahlah keimanan dan keteguhan hati mereka, dan masing-masing mereka berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya hal yang diharapkan dari mereka, ialah ketabahan, kesabaran dan pengorbanan.

Demikianlah Khabbab bin Arats menanggung penderitaan dengan shabar, tabah dan tawakkal. Orang-orang Quraisy terpaksa meminta bantuan Ummi Anmar, yakni bekas majikan Khabbab bin Arats yang telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun tangan dan turut mengambil bagian dalam menyiksa dan menderanya. Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu menaruhnya di atas kepala dan ubun-ubun Khabbab bin Arats, sementara Khabbab bin Arats menggeliat kesakitan. Tetapi nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa puas dan gembira.

Pada suatu hari Rasulullah saw lewat di hadapannya, sedang besi yang membara di atas kepalanya membakar dan menghanguskannya, hingga kalbu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bagaikan teriris karena pilu dan iba hati. Tetapi apa yang dapat diperbuat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menolong Khabbab bin Arats waktu itu? Tidak ada, kecuali meneguhkan hatinya dan mendo’akannya. Pada saat itu Rasulullah mengangkat kedua belah telapak tangannya ke langit, sabdanya memohon, “Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khabbab bin Arats.”

Dan kehendak Allah pun berlakulah, selang beberapa hari Ummi Anmar menerima hukuman qishas, seolah-olah hendak dijadikan peringatan oleh Yang Maha Kuasa baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo lainnya. Ia diserang oleh semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. Menurut keterangan ahli sejarah ia melolong seperti anjing. Dan dinasehatkan orang mengenai dirinya bahwa satu-satunya jalan atau obat yang dapat menyembuhkannya ialah menyeterika kepalanya dengan besi menyala. Demikianlah kepalanya yang angkuh itu menjadi sasaran besi panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang .

Jika orang-orang Quraisy hendak mematahkan keimanan dengan siksa maka orang-orang beriman mengatasi siksaan itu dengan pengurbanan. Dan Khabbab bin Arats adalah salah seorang yang dipilih oleh taqdir untuk menjadi guru besar dalam ilmu tebusan dan pengurbanan. Boleh dikata seluruh waktu dan masa hidupnya dibaktikannya untuk Agama yang panji-panjinya mulai berkibar.

Di masa-masa da’wah pertama, Khabbab bin Arats tidak merasa cukup dengan hanya ibadat dan shalat semata, tetapi ia juga memanfaatkan kemampuannya dalam mengajar. Didatanginya rumah sebagian temannya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka karena takut kekejaman Quraisy, lalu dibacakannya kepada mereka ayat-ayat al-Quran dan diajarkannya.

Khabbab bin Arats mencapai kemahiran dalam belajar al-Quran yang diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan mengenai dirinya, bahwa Rasuiullah shallallahu alaihi wa sallam. pernah bersabda, “Barangsiapa ingin membaca al-Quran tepat sebagaimana diturunkan, hendaklah ia belajar kepada Ibnu Ummi ‘Abdin.” Hingga Abdullah bin Mas’ud menganggap Khabbab bin Arats sebagai tempat bertanya mengenai soal-soal yang bersangkut-paut dengan al-Quran, baik tentang hafalan maupun pelajarannya.

Khabbab bin Arats adalah juga yang mengajarkan al-Quran kepada Fathimah binti Khatthab dan suaminya Sa’id bin Zaid ketika mereka dipergoki oleh Umar bin Khatthab yang datang dengan pedang terhunus untuk membuat perhitungan dengan Agama Islam dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Tetapi demi dibacanya ayat-ayat alQuran yang termaktub pada lembaran yang dipergunakan oleh Khabbab bin Arats untuk mengajar, ia pun berseru dengan suaranya yang barkah, “Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam).”

Dan ketika Khabbab bin Arats mendengar ucapan Umar itu, ia pun segera keluar dari tempat persembunyiannya, serunya, “Wahai Umar. Demi Allah, saya berharap kiranya kamulah yang telah dipilih oleh Allah dalam memperkenankan permohonan Nabi-Nya saw. Karena kemarin saya dengar Nabishallallahu alaihi wa sallam  memohon, “Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah seorang di antara dua lelaki yang lebih Engkau cintai, Abul Hakam bin Hisyam dan Umar bin Khatthab.”

Umar segera menyahut, “Di mana saya dapat menemuinya sekarang ini, hai Khabbab?” 
Kata Khabbab bin Arats, “Di Shafa, yaitu di rumah Arqam bin Abil Arqam.” 
Maka pergilah Umar mendapatkan keuntungan yang tidak terkira, menemui awal nasibnya yang bahagia. Khabbab bin Arats ibnul Arat menyertai Rasulullah saw. dalam semua peperangan dan pertempurannya, dan selama hayatnya ia tetap membela keimanan dan keyakinannya.

Dan ketika Baitulmal melimpah ruah dengan harta kekayaan di masa pemerintahan Umar dan Utsman radliyallahu ‘anhuma, maka Khabbab bin Arats beroleh gaji besar, karena termasuk golongan Muhajirin yang mula pertama masuk Islam. Penghasilannya yang cukup ini memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya disimpan pada suatu tempat di rumah itu yang dikenal oleh para shahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara mereka ada sesuatu keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukannya dari tempat itu.

Walaupun demikian, Khabbab bin Arats tak pernah tidur nyenyak dan tak pernah air matanya kering setiap teringat akan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang telah membaktikan hidupnya kepada Allah. Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi Kaum Muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka.

Dengarkanlah pembicaraannya dengan para pengunjung yang datang menjenguknya ketika Khabbab bin Arats dalam sakit yang membawa ajalnya. Kata mereka kepadanya, “Senangkanlah hati anda wahai Abu Abdillah, karena anda akan dapat menjumpai teman-teman sejawat anda.”

Maka ujarnya sambil menangis, “Sungguh, saya tidak merasa kesal atau kecewa, tetapi tuan-tuan telah mengingatkan saya kepada para shahabat dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa semua amal bakti mereka, sebeluin mereka mendapatkan ganjaran di dunia sedikit pun juga. Sedang kita, kita masih tetap hidup dan beroleh kekayaan dunia, hingga tak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali tanah.”

Kemudian ditunjuknya rumah sederhana yang telah dibangunnya itu, lalu ditunjuknya pula tempat untuk menaruh harta kekayaan, serta katanya, “Demi Allah, tak pernah saya menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tak pernah saya halanginya terhadap yang meminta.”

Dan setelah itu Khabbab bin Arats menoleh kepada kain kafan yang telah disediakan orang untuknya. Maka ketika dilihatnya mewah dan berlebih-lebihan, katanya sambil mengalir air matanya, “Lihatlah ini kain kafanku. Bukankah kain kafan Hamzah paman Rasulullah saw ketika gugur sebagai salah seorang syuhada hanyalah burdah berwarna abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya, sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya?”

Khabbab bin Arats berpulang pada tahun 37 Hijriah. Dengan demikian ahli membuat pedang di masa jahiliyah telah tiada lagi. Demikian halnya guru besar dalam pengabdian dan pengorbanan dalam Islam telah berpulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar