Bismillahirrahmanirrahiim . . .
Assalamu'ailakum warahmatullahi wabarakatuh kawan . . .
Hampir sebulan vacuum dari dunia jumputan dan sulaman kearifan, rasanya kangen juga. Apakah demikian juga denganmu kawan ??? hehee . . .
Hemm . . . jumputan kearifan edisi kali ini akan menampilkan tentang figur-figur ulama Ahlus Sunnah Waljama’ah (sunni). Semoga dengan mempelajari literatur figur dari beliau ini, akan makin mengokohkan akidah sunni kita . . . aamiin.
Dimulai dengan Imam Asy Syafi'i dulu ya kawan . . .
Yuk mari kita pelajari bersama . . .
@_@
*****
Assalamu'ailakum warahmatullahi wabarakatuh kawan . . .
Hampir sebulan vacuum dari dunia jumputan dan sulaman kearifan, rasanya kangen juga. Apakah demikian juga denganmu kawan ??? hehee . . .
Hemm . . . jumputan kearifan edisi kali ini akan menampilkan tentang figur-figur ulama Ahlus Sunnah Waljama’ah (sunni). Semoga dengan mempelajari literatur figur dari beliau ini, akan makin mengokohkan akidah sunni kita . . . aamiin.
Dimulai dengan Imam Asy Syafi'i dulu ya kawan . . .
Yuk mari kita pelajari bersama . . .
@_@
*****
- Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah
(Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang
yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan
menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya
meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek
beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)-
menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi.
As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang
memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam
barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia
tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits
bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam
Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan
nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian
mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan
Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli
keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat
tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan
al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan
seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu
Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah
seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi.
Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan
melakukan istinbath.
- Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu
pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai
isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang
ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang
menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur
dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang
terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah
Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh).
Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa
riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau
dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika
berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur
dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal
dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau
dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap
dan terlupakan.
- Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat
Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang
guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru
ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya
dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat
menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan
murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika
saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.”
Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai
penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada.
Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah
menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab,
beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri
majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau
tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan
tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai
menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan
tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah
bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum
lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal
Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan
syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman
bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian
bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana
beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh
syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang
kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah
menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua
orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan
al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun
tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan
pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari
ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin
Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung
paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman
bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan
lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh,
dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari
keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai
realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan
bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena
sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk
berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar
as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di
sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah
beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca
al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu
membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada
Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun
179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama
Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz
ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan
masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian
melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari
Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain.
Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang
selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di
Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan
kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke
telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya
akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid,
Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang
dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada
masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut
kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani
‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari
kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam
dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya
masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan
pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu
Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka
berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara
terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut
sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan
kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang
bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’
model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap
tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu
Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta
meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada
Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang
terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau
itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah
sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia
hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang
ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah
orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu
dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh
bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa
mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala
mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan
penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta
pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil
meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan
kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam
keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan
mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya,
mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk
itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan.
Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy
dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau
kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia
mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan
jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama
beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya
sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara
mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam
Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya
untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul,
penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan
lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau
kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka
menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan
meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut
namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat
angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi.
Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di
Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi
ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian
pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar
madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk
dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun,
beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan
politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam,
dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara
Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau
tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh
–yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat.
Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan
utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam
memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada
ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat
Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits.
Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia
mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham
Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila
tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke
Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya
ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat
sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan
menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai
akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
- Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul
Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah
selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber
hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan
menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau
kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka.
Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan
bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi
jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam
Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan
sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik
adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih
tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi
fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah
kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di
antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi
orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
- Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu,
beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin
lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat
karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari
terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga
Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”
- Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan
kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu
tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut
Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai
113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi
mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan
oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber : muslim.or.id
Cukup sekian kawan, jumputan kearifan kali ini, untuk pembelajaran figur ulama ahlus sunnah waljama'ah lainnya, insyaAllah kita pelajari di lain kesempatan.
Akhirul kalam . . .
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh . . .
@_@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar