Rabu, 04 Januari 2012

Makna Agung Al-Hawqalah

Oleh Abu Zuhriy Rikiy Dzulkifli bin Iwan Al-Ghåråntaliy dalam sebuah webnya.

****

Di antara kalimat-kalimat dzikir yang memiliki keutamaan dan hakikat makna yang agung dalam syari’at Islam adalah “al-Hawqolah” yaitu kalimat;

لاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ باِللهِ

Laa Haula walaa Quwwata illaa Billaah

Yang secara bahasa berarti; “Tiada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan (pertolongan) Allah”.

Keutamaan kalimat tersebut termaktub dalam nash-nash yang shahih dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para Sahabatnya. Di antaranya adalah riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda kepada sahabatnya:

ألاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ هِيَ كَنْزٌ مِنْ كُنُوْزِ الْجَنَّةِ؟ لاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ باِللهِ

“Tidakkah engkau ingin aku tunjukkan satu kalimat, yang ia merupakan harta dari harta karun surgawi? (dialah kalimat) ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah’”.
[Shahih Bukhari: 4205, 6384, Shahih Muslim: 2704]

Di antaranya juga adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:

مَا عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ يَقُــوْلُ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ أكْبَرُ وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَـمْدُ لِلّـهِ وَلاَ حَوْلاَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ باِللهِ، إلاَّ كُفِّرَتْ عَنْهُ ذُنُوْبُهُ وَلَوْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ زَبْدِ الْبَحْرِ

“Tidaklah ada seseorang di atas bumi yang mengucapkan; (yang artinya: Tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan Allah Mahabesar, Mahasuci Allah, segala pujian bagi Allah, dan tiada daya kekuatan melainkan dengan daya kekuatan Allah), kecuali pasti Allah akan menghapus dosa-dosanya sekalipun dosa tersebut lebih banyak dari buih di lautan”.
[HR. Tirmidzi dan al-Hakim, Shahiihul Jaami’: 5636]

Diriwayatkan bahwasanya ‘Utsman bin ‘Affan pernah ditanya tentang tafsiran “al-Baaqiyaatus Shoolihaat” (amal-amal shalih yang kekal) dalam firman Allah (QS. al-Kahfi: 46) :

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا

(yang artinya) “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, akan tetapi amalan-amalan shalih yang kekal, adalah lebih baik ganjarannya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Maka ‘Utsman bin ‘Affan menjawab: “Dia (al-Baqiyaatus Shoolihat yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kalimat); Laa ilaaha illallaah wa subhaanallaahi walhamdulillaahi wallaahuakbaru laa haula walaa quwwata illaa billaahi.”
[al-Musnad: 1/71, dinukil dari Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar: 1/276]

Dalam riwayat yang dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi, disebutkan bahwa kalimat “Laa haula walaa quwwata illaa billaahi” merupakan harta karun yang terletak di bawah ‘Arsy.

Dalam riwayat yang lain (al-Musnad: 5/418, Shahih Ibn Hibban no. 821) disebutkan bahwa kalimat tersebut merupakan tanaman-tanaman di surga.
[dinukil dari Fiqhul Ad’iyati wal Adzkaar: 1/278]

Dalam salah satu hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah  memerintahkan untuk memperbanyak ucapan “Laa haula walaa quwwata illaa billaahi” (Silsilah ash-Shahihah: 2528], dan ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan kalimat tersebut. Sehingga wajib bagi kita untuk mempelajari kandungan maknanya sekaligus mengamalkannya dengan benar.

Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdulmuhsin al-Badr hafizhahullaah mengatakan:
“Merupakan kelaziman bagi setiap muslim (dalam berdzikir kepada Allah) untuk memahami maksud dan makna kalimat ini, agar dzikirnya kepada Allah berdiri di atas dasar ilmu dan pemahaman tentang maksud kalimat dzikir yang diucapkannya. Adapun jika seorang muslim sekedar mengulang-ngulang bacaan yang tidak dipahami maknanya, atau lafaz yang tidak diketahui maksudnya, maka ini tidak akan berbekas di hati dan faidah yang diperoleh pun lemah.

Oleh karena itu, setiap muslim harus mengilmui (makna) kalimat ini (demikian juga dengan kalimat dzikir lain yang diucapkannya), karena dengan itu, dzikir akan memberikan buahnya, faidahnya akan terwujud, yang berdzikir pun akan meraih faidahnya.”
[Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar:1/ 280]

Hakikat makna al-hawqalah

Kalimat al-Hawqolah, sebagaimana dikatakan oleh para ulama, mengandung konsekuensi makna; “isti’aanah (memohon pertolongan) hanya kepada Allah.” Karena kalimat ini berisi ikrar hamba, bahwasanya ia sedikitpun tidak memiliki daya dan kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan dan menghindar dari apa yang dibencinya, kecuali dengan daya dan kekuatan (pertolongan) dari al-Maula, yaitu Allah semata.

Sungguh para Salaf begitu mendalam pemahamannya tentang rahasia makna kalimat ini. Renungkanlah bagaimana Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu menafsirkan makna al-Hawqolah (Laa hawla walaa quwwata illaa billaah) dengan ucapannya:

لاَ حَوْلَ بِنَا عَلَى الْعَمَلِ بِالطَّـاعَةِ إلاَّ بِاللهِ، وَلاَ قُوَّةَ لَنَا عَلَى تَرْكِ الْمَعْصِيَةِ إلاَّ بِاللهِ

“Tidak ada kemampuan bagi kami dalam melakukan amalan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah, dan tidak ada kekuatan bagi kami untuk meninggalkan maksiat kecuali dengan pertolongan dari Allah (pula).”

Demikian pula Zuhair bin Muhammad pernah ditanya tentang makna “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”, lalu beliau menjawab:

لاَ تَأْخُذُ مَا تُحِبُّ إِلاِّ بِاللهِ، وَلاَ تَمْتَنِعُ مِمَّا تَكْرَهُ إِلاَّ بِعَوْنِ اللهِ

“Engkau tidak akan mampu meraih apa-apa yang engkau sukai kecuali dengan pertolongan Allah, dan engkau tidak akan mampu menghindar dari apa-apa yang engkau benci kecuali dengan pertolongan Allah pula.”
Kedua tafsiran tersebut diriwayatkan oleh as-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsuur: 5/393-394
[dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/282]

Oleh sebab itu, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullaah mengatakan dalam kitabnya Madaarijus Saalikiin (1/78) :
“Tidak diragukan lagi bahwasanya do’a yang paling bermanfaat dan paling utama bagi hamba adalah do’a agar ia mendapatkan pertolongan dari Allah demi meraih keridhaan-Nya dan taufik dalam mentaati-Nya. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Mu’adz bin Jabal karena kecintaannya kepada Mu’adz :

يَا مُعَاذُ، وَاللهِ إِنِي لأُحِبُّكَ، فَلاَ تَنْسَ أَنْ تَقُـوْلَ دُبُرَ كُلِّ صَـلاَةٍ: اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Wahai Mu’adz, Demi Allah aku mencintaimu, maka dari itu jangan engkau lupa untuk membaca dipenghujung sholat (setelah tahiyyat, sebelum salam -red) do’a (yang artinya): ‘Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir kepada-Mu, dalam mensyukuri-Mu, dan dalam memperbaiki ibadahku kepada-Mu.”
[Hadits Shahih, lihat pula Shahiih Targhiib wat Tarhiib no. 1596, asy-Syaamilah -red]

Antara al-hawqalah dan al-fatihah

Para ulama mengatakan: Sebagaimana kalimat Tauhid “Laa ilaaha illallaah” tidak akan ada 
faidahnya kecuali dengan mengikhlaskan segenap ibadah hanya bagi Allah semata, maka demikian pula kalimat al-Hawqolah “Laa hawla walaa quwwata illaa billaah” tidak akan berarti apa-apa kecuali dengan mengikhlaskan isti’anah (permohonan pertolongan) hanya kepada Allah semata. Sungguh Allah telah menghimpun “rahasia” kedua makna tersebut pada satu ayat dalam Surat al-Qur-aan yang paling agung, al-Fatihah :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”

Kalimat pertama (إيَّاكَ نَعْبُدُ) menyiratkan ikrar perlepasan diri hamba dari kesyirikan, dan kalimat kedua (وإياك نستعين) mengandung ikrar ketidakmampuan dan ketidakberdayaan hamba dalam mewujudkan segala hal yang diinginkannya kecuali dengan pertolongan Allah semata.

Tidak heran jika Ibnul Qayyim menukil ucapan gurunya (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) :   “Aku meneliti dan merenungkan (kandungan) do’a yang paling bermanfaat (bagi hamba), maka aku menemukannya pada do’a yang mengandung permintaan tolong hamba kepada Allah untuk meraih keridhaan-Nya, dan aku melihat (kandungan do’a tersebut) ada di al-Fatihah (إياك نعبد وإياك نستعين)…”
[Madaarijus Saalikiin: 1/78, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/284]

Antara al-Hawqalah dan Tawakkal

Kalimat “Laa haula walaa quwwata illaa billaahi” juga mengandung konsekuensi tawakkal hanya kepada Allah. Yang demikian ini, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dikarenakan segala perkara bergantung pada masyii-atillaah (kehendak Allah) dan kekuasaan-Nya. Betapapun seorang hamba berjuang dalam ikhtiarnya meraih hasrat dan impian, keputusan akhir tetap ada di tangan Allah, karena hanya Dia yang memiliki kemampuan dan kekuatan. Seorang hamba hanya wajib ber-ikhtiar, sedang kepastian setiap perkara ada dalam genggaman-Nya, maka harapan hanya pantas ditujukan kepada Allah saja, dan itu mutlak membutuhkan tawakkal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil sebuah atsar yang indah dan sarat makna, ketika menjelaskan hakikat ini :

مَنْ سَرَّهُ أنْ يَكُوْنَ أَقْوَى النَّاسِ فَلْيَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ، وَمَنْ سَرَّهُ أَنْ يَكُوْنَ أَغْنَى النَّاسِ فَلْيَكُنْ بِمَا فِيْ يَدِ اللهِ أَوْثَقُ مِنْهُ بِمَا فِيْ يَدِهِ

“Barangsiapa senang menjadi manusia yang paling kuat, maka hendaklah ia bertawakkal kepada Allah. Dan barangsiapa yang senang menjadi manusia yang paling kaya, maka hendaklah apa-apa yang ada di tangan Allah lebih pasti baginya dibandingkan dengan apa-apa yang telah ada dalam genggaman tangannya (sekalipun).”
[Majmu’ Fatawa: 13/321-322, dinukil dari Fiqhul Ad’iyah wal Adzkaar: 1/283]

Demikianlah rahasia di balik keagungan al-Hawqolah. Tentunya setelah memahami makna kalimat ini, kita bisa mengamalkannya dalam do’a dengan hati yang lebih khusyu’, penuh harapan dan rasa ketundukan pada Allah ‘azza wa jalla, terutama pada 2 kondisi yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam  Ibnu  Taimiyah :
Petama; saat memohon pertolongan Allah; dan kedua; ketika bertawakkal, menanti keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar.

Sumber : http://abuzuhriy.com/?p=2401

Tidak ada komentar:

Posting Komentar