Senin, 02 Januari 2012

Abu Hurairah



Abdur Rahman bin Shakhr Al-Azdi
(lahir 598 M - wafat 678 M) yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah adalah seorang Sahabat Nabi yang terkenal dan merupakan periwayat hadits yang paling banyak disebutkan dalam isnadnya oleh kaum Islam Sunni.

Ibnu Hisyam berkata bahwa nama asli Abu Hurairah adalah Abdullah bin Amin dan ada pula yang mengatakan nama aslinya ialah Abdur Rahman bin Shakhr.

Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia diperkirakan lahir 21 tahun sebelum Hijrah, dan sejak kecil sudah menjadi yatim. Nama aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdus Syams (hamba matahari) dan ia dipanggil sebagai Abu Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing. Ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, yang kemudian setelah masuk Islam dinikahinya.

Abu Hurairah termasuk salah satu di antara kaum fakir Muhajirin yang tidak memiliki keluarga dan harta kekayaan, yang disebut Ahlush Shuffah, yaitu tempat tinggal mereka di depan Masjid Nabawi. Abu Hurairah mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said bin Musayyib, yaitu salah seorang tokoh tabi'in terkemuka.

  • MENJADI GUDANG PERBENDAHARAAN HADITS NABI
Kepandaian seorang manusia kadang berakibat merugikan bagi manusia yang menyandangnya. Orang-orang yang mempunyai bakat istimewa itu banyak yang harus membayar mahal, justru pada saat ia pantas menerima penghargaan.

Salah seorang sahabat Nabi SAW, Abu Hurairah termasuk dari mereka. Ia mempunyai bakat yang luar biasa dalam hal kemampuan dan kekuatan ingatan, ia mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang didengarnya, sedangkan daya ingatnya mempunyai keistimewaan dalam menghafal dan menyimpan. Hampir tak pernah ia melupakan satu kata atau satu huruf pun dari semua yang pernah didengarnya. Ia telah mewakafkan hampir seluruh hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah SAW, sehingga ia termasuk salah seorang sahabat yang paling banyak menerima dan menghafal hadits, serta meriwayatkannya.

Salah satu akibat yang menimpa Abu Hurairah, adalah masa di mana pemalsu-pemalsu hadits yang  dengan sengaja membuat hadits-hadits bohong dan palsu, seolah-olah berasal dari Rasulullah SAW. Mereka memperalat nama Abu Hurairah, dan meriwayatkan dengan menggunakan kata-kata: “Berkata Abu Hurairah”

Dengan perbuatan ini, hampir-hampir mereka menyebabkan kemasyhuran dan kedudukan Abu Hurairah selaku penyampai hadits Nabi SAW, menjadi diragukan dan Tanda Tanya.

Ia adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang menerima cahaya revolusi Islam, dengan perubahan mengagumkan yang terjadi pada dirinya, dari orang upahan menjadi majikan.  Dari orang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia, menjadi imam dan panutan, dan dari seorang sujud di depan batu-batu berhala, menjadi orang yang beriman kepada Allah SWT.

Suatu saat ia pernah bercerita kepada sahabat-sahabatnya:
  • “Aku dibesarkan dalam keadaan Yatim, dan ikut hijrah dalam keadaan miskin. Aku menerima upah sebagai pembantu pada keluarga Busrah binti Ghazwan demi untuk sekedar mengisi perutku…!
    Aku melayani keluarga itu setiap saat baik kala mereka sedang di rumah, dan menuntun binatang tunggangannya jika mereka sedang bepergian. Sekarang inilah aku, Allah telah berkenan menikahkan aku dengan putri Busrah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu Hurairah seperti sekarang ini……!
Ia datang dan menemui Nabi SAW pada tahun ke-7 H sewaktu beliau berada di Khaibar, ia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan, dan sejak itulah hampir-hampir ia tidak berpisah lagi dari Rasulullah SAW kecuali pada saat-saat waktu tidur. Hal ini ia lakukan sejak masuk Islam sampai Rasulullah wafat.

Dengan fitrahnya yang kuat. Abu Hurairah mendapatkan kesempatan yang besar yang memungkinkan ia memainkan peran penting dalam berbakti kepada Agama Allah SWT.

Pahlawan perang di kalangan sahabat, sangat banyak, ahli fiqih, juru dakwah dan para guru juga tidak sedikit. Tetapi masyarakat dan lingkungan saat itu belum banyak yang melek huruf, bisa baca tulis. Pada masa itu manusia belum merasa pentingnya baca tulis sebagai bukti kemajuan suatu masyarakat. Pada saat seperti itulah, Abu Hurairah dengan fitrahnya yang kuat dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dibangun oleh Islam, kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya. Saat itu memang sudah ada para sahabat yang sudah mampu menulis, tetapi jumlah mereka sangat sedikit sekali, apalagi sebagian dari mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mencatat hadits-hadits yang ucapkan oleh Rasulullah SAW.

Sebenarnya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir di samping mempunyai kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan untuk itu, karena ia tidak punya tanah yang akan digarap, dan tidak punya perniagaan yang akan diurus.

Ia menyadari sepenuhnya bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, karena itulah ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan cara selalu mendampingi Rasulullah secara terus-menerus dan selalu hadir dalam majlisnya. Ia juga sadar dengan bakat pemberian Allah SWT pada dirinya, berupa daya ingatan yang luas dan kuat, dan makin bertambah kuat, tajam dan luas dengan Doa Rasulullah SAW, agar pemilik bakat ini diberi Allah berkat.

Dengan kekuatan dan kemampuan serta bakat itulah ia menyiapkan dirinya untuk memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan yang sangat penting itu dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Sewaktu Rasulullah SAW telah berpulang ke Rahmatullah, Abu Hurairah terus saja menyampaikan hadits-hadits Nabi SAW, yang menyebabkan sebagian sahabatnya merasa heran dengan bertanya-tanya di dalam hati, dari mana saja datangnya hadits-hadits ini, kapan didengarnya dan endapkannya dalam ingatannya.

  • Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kecurigaan sahabat-sahabatnya itu, Abu Hurairah memberi penjelasan: “Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadits dari Nabi SAW, dan tuan-tuan katakan pula bahwa orang-orang Muhajirin yang lebih dulu masuk Islam daripada Abu Hurairah, tidak pernah menceritakan hadis-hadis itu?

    Ketahuilah, bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka .
    Sedang aku adalah orang miskin, yang paling banyak mempunyai kesempatan dan menyertai majlis Rasulullah, aku hadir di saat yang lain absent, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukannya.

    Pada suatu hari Nabi pernah bersabda kepada kami: “Siapa yang membentangkan sorbannya hingga selesai pembicaraanku kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia tidak akan pernah lupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarnya daripadaku….!”
    Oleh sebab itulah, kuhamparkan sorbanku, lalu beliau berbicara kepadaku, Kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada satupun yang terlupa dari apa yang telah kudengar.

    Demi Allah kalau tidak karena adanya ayat di dalam kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikitpun. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah kami nyatakan kepada manusia di dalam kitab mereka itulah yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (para malaikat) (QS. Al-Baqarah: 159)
Abu Hurairah menjelaskan mengapa ia menjadi seorang yang paling banyak mengeluarkan riwayat hadits dari Rasulullah SAW:
Pertama, karena ia banyak meluangkan waktunya untuk menyertai Nabi lebih banyak dari para sahabat lainnya.
Kedua, karena ia memiliki daya ingatan yang sangat kuat, yang telah diberi berkat oleh Rasulullah SAW, hingga ia jadi semakin kuat.
Ketiga, ia menceritakan hadits bukan karena ia gemar bercerita. Tetapi karena keyakinan bahwa menyebarluaskan hadits-hadits Nabi SAW merupakan tanggungjawabnya terhadap agama dalam hidupnya. Jika hal itu tidak dilakukannya, berarti ia menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk orang yang lalai yang sudah barang tentu ia akan menerima azab karena kelalaiannya.

Oleh sebab itulah ia terus saja memberitakan hadits. Tak ada suatupun yang bisa menghalanginya dan tak seorangpun boleh melarangnya. Hingga pada suatu hari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab, berkata kepadanya: “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Jika tidak, maka akan kukembalikan kau ke Tanah Daus…!” (yaitu tanah kaum dan keluarganya).

Tetapi larangan ini mempunyai maksud sebagai pengukuhan dari suatu pandangan yang dipandang baik oleh Umar, yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka waktu tertentu tidak menghafal yang lain, kecuali Al-Qur’an sampai ia melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran mereka.

Oleh sebab itu Sayyidina Umar berpesan: “Sibukkanlah dirimu dengan Al-Qur’an karena itu adalah kalam Allah, dan kurangilah meriwayatkan hadits perihal Rasulullah kecuali yang berkenaan dengan amal perbuatannya!”

Abu Hurairah sangat menghargai pandangan Sayyidina Umar, tetapi ia juga percaya pada dirinya dan tetap teguh mengemban amanat, hingga ia tidak hendak menyembunyikan suatu pun dari hadits yang diyakininya bahwa menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan.

  • AKRAB DENGAN KELAPARAN
Sahabat yang satu ini biasa berpuasa sunah tiga hari setiap awal bulan Qamariah, mengisi malam harinya dengan membaca Al-Quran dan shalat tahajjud. Beliau sering mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar.

Abu Hurairah adalah sahabat yang sangat dekat dengan Nabi SAW. Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah, yaitu orang-orang papa yang tinggal di pondokan masjid (pondokan ini juga diperuntukkan buat para musafir yang kemalaman). Begitu dekatnya dengan Nabi, sehingga beliau selalu memanggil Abu Hurairah untuk mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.

Karena kedekatannya itu, Nabi pernah mempercayainya menjaga gudang penyimpanan hasil zakat. Suatu malam seseorang mengendap-endap hendak mencuri, tertangkap basah oleh Abu Hurairah. Orang itu sudah hendak dibawa ke Rasulullah.
 “Ampun tuan, kasihani saya,” Pencuri itu memelas. 
“Saya mencuri ini untuk menghidupi keluarga saya yang kelaparan.” 
Abu Hurairah tersentuh hatinya, maka dilepasnya pencuri itu. “Baik, tapi jangan kamu ulangi perbuatanmu ini.” 
Esoknya hal ini dilaporkan kepada Nabi SAW. Nabi tersenyum. “Lihat saja, nanti malam pasti ia kembali.” 
Benar pula, malam harinya pencuri itu datang lagi. 
“Nah, sekarang kamu tidak akan kulepas lagi.” 
Sekali lagi, orang itu memelas, hingga Abu Hurairah tersentuh hatinya. 
Tapi, ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, kembali beliau mengatakan hal yang sama. “Lihat saja, orang itu akan kembali nanti malam.” 
Ternyata pencuri itu benar-benar kembali. “
"Apa pun yang kamu katakan, jangan harap kamu bisa bebas. Sudah dua kali kulepas, kamu tak kapok-kapok juga.” 
Pencuri itu malah menggurui. “Abu Hurairah, sebelum kamu tidur, bacalah ayat kursi agar syaitan tidak menyatroni kamu.”  
Merasa mendapat pelajaran berharga, Abu Hurairah terharu. Ah, ternyata orang baik-baik, pikirnya.
Apa yang dikatakan orang itu memang benar,” Sabda Nabi ketika dilapori pagi harinya. “Tapi orang itu bukan orang baik-baik. Dia adalah syaitan. Dia katakan itu supaya dia kamu bebaskan.”

Karena keinginannya selalu menyertai Nabi SAW, ia pernah menderita kelaparan yang amat sangat, yang belum diderita oleh orang lain. Bagaimana rasa lapar itu menggigit-gigit perutnya. Dia meletakkan batu di perutnya dengan mengikat pakai sorban, lalu ditekannya batu itu ke ulu hatinya dengan kedua tangannya, sampai ia terjatuh di masjid sambil menggeliat-geliat kesakitan, hingga sebagian sahabat yang melihatnya mengira ia sakit ayan, padahal sama sekali tidak…!

Abu Hurairah pernah menceritakan kepada Mujahid dan Ahmad bahwa ia pernah menceritakan tentang dirinya:
“Demi Allah, terkadang aku menekan perut ke tanah karena rasa lapar, dan terkadang juga aku mengganjal perutku dengan batu. Pada suatu hari aku duduk di pinggir jalan yang biasanya selalu dilalui oleh para sahabat, tiba-tiba Abu Bakar (ra) lewat di di situ. Maka aku bertanya mengenai salah satu ayat Al-Qur’an, padahal sebenarnya aku tidak semata-mata bertanya melainkan dengan harapan supaya dia mengajak aku ke rumahnya, tetapi dia tidak mengajakku. 

Kemudian Umar (ra) lewat di tempat itu, kepadanya juga aku bertanya mengenai ayat Al-Qur’an, dengan harapan dia akan mengajakku ke rumahnya, tetapi Umar pun tidak mengajakku. Tidak lama kemudian Rasulullah SAW lewat di tempat itu. Ketika beliau melihat raut wajahku, beliau memahami apa yang ada dalam hatiku, maka beliau berkata :    “Wahai Abu Hurairah, kemarilah” 

Aku menyahut “Labbaik ya Rasulullah!” 
Nabi berkata: “Ikutlah denganku!” 
Ketika sampai di rumah beliau, aku minta izin untuk masuk , beliau mengizinkan aku masuk. Di dalam rumah, aku melihat ada semangkok susu. Lalu Rasulullah bertanya kepada keluarganya, “Dari mana kalian peroleh susu ini?”
Keluarganya menjawab: “Seseorang mengantarkannya kemari sebagai hadiah untuk kita.” Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Wahai Abu Hurairah,” 
Aku menyahut, “Labbaik ya Rasulullah.”
Beliau berkata lagi: “Pergilah ke ahli Suffah dan panggillah mereka ke sini!” 
Abu Hurairah berkata: “Ahli Suffah adalah para tetamu Islam yang tidak mempunyai rumah dan juga tidak mempunyai harta benda. Apabila ada suatu hadiah datang kepada Rasulullah SAW, maka sebagian dimakan oleh Rasulullah dan sebagian lagi diberikan kepada ahli suffah. Dan apabila suatu datang kepada beliau sebagai sedekah, maka beliau tidak memakannya melainkan memberikan semuanya kepada ahli suffah.”

Ketika aku disuruh memanggil ahli suffah, aku merasa susah hati, karena sebelumnya aku sangat berharap dapat meminum susu tersebut, sehingga dapat memulihkan kekuatanku untuk sehari semalam, sedangkan aku disuruh Rasulullah SAW untuk memanggil mereka. Jika mereka datang, maka pasti aku harus memberikan susu itu kepada mereka, lalu mereka semua meminumnya sehingga tidak akan tersisa lagi untukku. Akan tetapi tidak ada jalan lain selain taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena itulah aku pergi memanggil mereka.

Lalu mereka datang dan meminta izin masuk, dan duduk di tempatnya masing-masing. Kemudian Rasulullah SAW berkata: “Wahai Abu Hurairah ambillah susu itu dan berikan kepada mereka!”
Akupun mengambil mangkok susu itu dan memberikannya kepada mereka, lalu secara bergantian setiap orang meminumnya hingga merasa kenyang, sehingga aku memberikannya kepada orang yang terakhir diantara mereka. Setelah selesai, aku serahkan kembali mangkok susu itu kepada Rasulullah, lalu beliau menerimanya yang ternyata di dalam mangkok itu masih tersisa susu. Kemudian Nabi mengangkat kepalanya melihat ke arahku sambil tersenyum dan berkata: “Wahai Abu Hurairah!” Kini tinggal aku dan kamu.”
Aku menjawab: “Engkau benar ya Rasulullah.”
Beliau berkata: “Sekarang duduk dan minumlah!”
Maka akupun duduk dan meminum susu tersebut. Nabi SAW menyuruhku meminum lagi. Akupun meninumnya lagi. Beliau terus menyuruhku untuk meminumnya, sehingga aku berkata: “Cukup, demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, tidak ada lagi tempat yang kosong dalam perutku.”
Rasulullah berkata: “Baiklah, berikanlah mangkok itu padaku.”
Maka akupun memberikan mangkok itu kepada beliau, kemudian beliau meminum sisa susu yang masih terdapat di dalam mangkok tersebut.”

Di lain waktu Abu Hurairah menceritakan:
“Sudah tiga hari lamanya aku tidak makan apa-apa, lalu aku keluar berniat pergi ke Suffah, tetapi karena badanku sangat lemah, di tengah jalan aku terjatuh. Anak-anak kecil yang melihatku berkata: “Abu Hurairah terkena penyakit gila!”
Aku menjawab: “Tidak, Kalianlah yang gila.”

Aku terus merangkak hingga sampai di Suffah. Setibanya di sana, aku melihat ada dua piring Tsarid (roti yang dicampur daging kuah) dibawa kehadapan Rasulullah, lalu beliau memanggil ahli suffah untuk bersama-sama makan Tsarid tersebut. Merekapun menyantapnya bersama-sama. Aku melihatnya dengan memanjangkan leher berharap agar Nabi memanggilku. Setelah ahli Suffah selesai makan, mereka semua berdiri, sedangkan yang tersisa hanya sedikit makanan di pinggiran piring, kemudian Rasulullah mengumpulkan sisa makanan tersebut, maka terkumpullah menjadi satu suapan, lalu beliau letakkan sesuap makanan itu di jari-jari beliau sambil berkata kepadaku: “Ucapkanlah Bismillah dan makanlah.” Demi Dzat yang aku berada dalam genggaman-Nya aku terus-menerus memakan dari satu suapan tersebut sehingga aku merasa kenyang.”

Meski Abu Hurairah seorang papa, boleh dibilang tuna wisma, salah seorang majikannya yang lumayan kaya menikahkan putrinya, Bisrah binti Gazwan, dengan beliau. Majikannya tak melihat kaya atau miskin, majikan atau buruh. Abu Hurairah dipandang mulia karena kealiman dan keshalihannya. Perilaku Islami telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa Jahiliah yang memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan.
  • MENOLAK JABATAN
Ketika Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi Amirul Mukminin, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Bahrain. Sayyidina Umar sebagaimana kita ketahui adalah orang yang sangat keras dan teliti terhadap pejabat-pejabat yang diangkatnya. Jika ia mengangkat seseorang sedang ia mempunyai dua pasang pakaian maka sewaktu meninggalkan jabatannya nanti haruslah tetap mempunyai dua pasang pakaian juga, malah lebih baik kalau ia hanya memiliki satu pakaian saja. Apabila waktu meninggalkan jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, maka ia tidak akan luput dari introgasi Sayyidina Umar, sekalipun kekayaan itu berasal dari jalan yang halal yang dibolehkan syara’.

Rupanya sewaktu Abu Hurairah memangku jabatan sebagai kepala daerah di Bahrain ia telah menyimpan harta yang berasal dari sumber yang halal. Hal ini diketahui oleh Sayyidina Umar. Karena itulah ia dipanggil untuk datang dan menghadap di Madinah.

Umar berkata kepada Abu Hurairah: “Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?”
Jawab Abu Hurairah: “Aku bukan musuh Allah dan bukan pula musuh Kitab-Nya, aku hanya menjadi musuh orang-orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah!”
Umar bertanya: “Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?”
Abu Hurairah menjawab: “Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan.”
"Kembalikan harta itu ke perbendaharaan Negara (baitul mal),” Jawab Umar.

Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Sayyidina Umar, kemudian ia mengangkat tangannya ke arah langit sambil berdoa: “Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin.”

Tahun 23 H, Umar memecatnya karena sang gubernur kedapatan menyimpan banyak uang (menurut satu versi, sampai 10.000 dinar). Dalam proses pengusutan, ia mengemukakan bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu ia diminta menduduki jabatan gubernur lagi, tapi beliau menolak.

Penolakan itu diiringi lima alasan, yaitu “Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut memutuskan perkara bertentangan dengan hukum (syari’at); aku tidak mau dicambuk; aku tak mau harta benda hasil jerih payahku disita; dan aku takut nama baikku tercemar.” Beliau memilih tinggal di Madinah, menjadi warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin sesudahnya.

Tatkala kediaman Amirul Mukminin Utsman bin Affan dikepung pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Al-Fitnatul Kubra (bencana besar), Abu Hurairah bersama 700 orang Muhajirin dan Anshar tampil mengawal rumah tersebut. Meski dalam posisi siap tempur, Khalifah melarang pengikut setianya itu memerangi kaum pemberontak. Pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah ditawari menjadi gubernur. Namun beliau menolak dan lebih memilih menjadi warga biasa.

Sejak ia menganut agama Islam tidak ada yang memberatkan dan mengganjal perasaannya dari berbagai persoalan hidup yang dialaminya, kecuali satu masalah yang hampir menyebabkan tak dapat memejamkan mata, yaitu masalah ibunya, yang waktu itu ia menolak untuk masuk Islam, tidak hanya itu, bahkan ibunya menyakiti perasaannya dengan menjelek-jelekan Rasulullah di depannya.

Dari Abu Kasir, Yazid bin Abdurrahman, Abu Hurairah bercerita kepadaku: “Dulu aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam ketika dia masih musyrik. Suatu hari aku mendakwahinya namun dia malah memperdengarkan kepadaku cacian kepada Rasulullah SAW yang tentu merupakan kalimat-kalimat yang tidak kusukai untuk kudengar. Akhirnya aku pergi menghadap Rasulullah SAW sambil menangis. Ketika telah berada di hadapan Rasulullah SAW aku berkata, “Ya Rasulullah, sungguh aku berusaha untuk mendakwahi ibuku agar masuk Islam namun dia masih saja menolak ajakanku. Hari ini kembali beliau aku dakwahi namun dia malah mencaci dirimu. Oleh karena itu berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hidayah kepada ibu-nya Abu Hurairah.”
Rasulullah SAW lantas berdoa: “Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu dari Abu Hurairah.”

Kutinggalkan Rasulullah SAW dalam keadaan gembira karena dia mau mendoakan ibuku. Setelah aku sampai di depan pintu rumahku ternyata pintu dalam kondisi terkunci. Ketika ibuku mendengar langkah kakiku, beliau mengatakan: “Tetaplah di tempatmu, hai Abu Hurairah”. Aku mendengar suara guyuran air. Ternyata ibuku mandi. Setelah selesai mandi beliau memakai jubahnya dan segera mengambil kerudungnya lantas membukakan pintu. Setelah pintu terbuka beliau mengatakan: “Hai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusannya”.

Mendengar hal tersebut aku bergegas kembali menemui Rasulullah SAW. Aku menemui beliau dalam keadaan menangis karena begitu gembira. Kukatakan kepada beliau: “Ya Rasulullah, bergembiralah. Sungguh Allah telah mengabulkan doamu dan telah memberikan hidayah kepada ibunya Abu Hurairah.”

Mendengar hal tersebut beliau memuji Allah dan menyanjungnya lalu berkata, “Bagus”. Lantas kukatakan kepada beliau: “Ya Rasulullah, doakanlah aku dan ibuku agar menjadi orang yang dicintai oleh semua orang yang beriman dan menjadikan kami orang yang mencintai semua orang yang beriman.”
Beliau pun mengabulkan permintaanku. Beliau berdoa, “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini yaitu Abu Hurairah dan ibunya orang yang dicintai oleh semua hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah mereka berdua orang-orang yang mencintai semua orang yang beriman.” Karena itu tidak ada seorang pun mukmin yang mendengar tentang diriku ataupun melihat diriku kecuali akan mencintaiku. [HR Muslim no. 6551].
 
Abu Hurairah meninggal dunia dalam usia 78 tahun pada tahun 678 M atau tahun  59 Hijriah di Madinah. Ia dikebumikan di pekuburan Baqi’. Salah seorang di antara mereka yang baru masuk Islam bertanya kepada temannya: “Kenapa Syekh kita yang telah berpulang ke rahmatullah itu diberi gelar “Abu Hurairah” (bapak kucing)?

Si temannya itu menjawab: “Di waktu Jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi, dan tatkala memeluk Islam ia diberi nama oleh Rasulullah SAW dengan nama Abdur Rahman. Ia sangat penyayang kepada binatang, dan ia mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat berteduh. Kucing itu selalu menyertainya ke mana pun ia pergi seolah-olah bayang-bayangnya. Itulah sebabnya ia diberi gelar
“Bapak Kucing”. Semoga Allah ridha kepadanya dan menjadikannya ridha kepada Allah SWT.


Sumber : sufiz.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar