Abdur Rahman bin Shakhr Al-Azdi (lahir 598 M - wafat 678 M) yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah adalah seorang Sahabat Nabi yang terkenal dan merupakan periwayat hadits yang paling banyak disebutkan dalam isnadnya oleh kaum Islam Sunni.
Ibnu Hisyam berkata bahwa nama asli Abu Hurairah adalah Abdullah bin Amin dan ada pula yang mengatakan nama aslinya ialah Abdur Rahman bin Shakhr.
Abu
Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Ia diperkirakan
lahir 21 tahun sebelum Hijrah, dan sejak kecil sudah menjadi yatim. Nama
aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdus Syams (hamba matahari) dan ia dipanggil sebagai Abu Hurairah
(ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing. Ketika
mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, yang kemudian setelah
masuk Islam dinikahinya.
Abu Hurairah termasuk salah satu di antara kaum fakir Muhajirin yang tidak memiliki keluarga dan harta kekayaan, yang disebut Ahlush Shuffah,
yaitu tempat tinggal mereka di depan Masjid Nabawi. Abu Hurairah
mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said bin Musayyib,
yaitu salah seorang tokoh tabi'in terkemuka.
- MENJADI GUDANG PERBENDAHARAAN HADITS NABI
Kepandaian
seorang manusia kadang berakibat merugikan bagi manusia yang
menyandangnya. Orang-orang yang mempunyai bakat istimewa itu banyak yang
harus membayar mahal, justru pada saat ia pantas menerima penghargaan.
Salah
seorang sahabat Nabi SAW, Abu Hurairah termasuk dari mereka. Ia
mempunyai bakat yang luar biasa dalam hal kemampuan dan kekuatan
ingatan, ia mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang
didengarnya, sedangkan daya ingatnya mempunyai keistimewaan dalam
menghafal dan menyimpan. Hampir tak pernah ia melupakan satu kata atau
satu huruf pun dari semua yang pernah didengarnya. Ia telah mewakafkan
hampir seluruh hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah SAW,
sehingga ia termasuk salah seorang sahabat yang paling banyak menerima
dan menghafal hadits, serta meriwayatkannya.
Salah satu
akibat yang menimpa Abu Hurairah, adalah masa di mana pemalsu-pemalsu
hadits yang dengan sengaja membuat hadits-hadits bohong dan palsu,
seolah-olah berasal dari Rasulullah SAW. Mereka memperalat nama Abu
Hurairah, dan meriwayatkan dengan menggunakan kata-kata: “Berkata Abu Hurairah”
Dengan
perbuatan ini, hampir-hampir mereka menyebabkan kemasyhuran dan
kedudukan Abu Hurairah selaku penyampai hadits Nabi SAW, menjadi
diragukan dan Tanda Tanya.
Ia adalah salah seorang sahabat
Nabi SAW yang menerima cahaya revolusi Islam, dengan perubahan
mengagumkan yang terjadi pada dirinya, dari orang upahan menjadi
majikan. Dari orang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia,
menjadi imam dan panutan, dan dari seorang sujud di depan batu-batu
berhala, menjadi orang yang beriman kepada Allah SWT.
Suatu saat ia pernah bercerita kepada sahabat-sahabatnya:
- “Aku
dibesarkan dalam keadaan Yatim, dan ikut hijrah dalam keadaan miskin.
Aku menerima upah sebagai pembantu pada keluarga Busrah binti Ghazwan
demi untuk sekedar mengisi perutku…!
Aku melayani keluarga itu setiap saat baik kala mereka sedang di rumah, dan menuntun binatang tunggangannya jika mereka sedang bepergian. Sekarang inilah aku, Allah telah berkenan menikahkan aku dengan putri Busrah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu Hurairah seperti sekarang ini……!
Ia datang dan menemui
Nabi SAW pada tahun ke-7 H sewaktu beliau berada di Khaibar, ia memeluk
Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan, dan sejak itulah
hampir-hampir ia tidak berpisah lagi dari Rasulullah SAW kecuali pada
saat-saat waktu tidur. Hal ini ia lakukan sejak masuk Islam sampai
Rasulullah wafat.
Dengan fitrahnya yang kuat. Abu Hurairah
mendapatkan kesempatan yang besar yang memungkinkan ia memainkan peran
penting dalam berbakti kepada Agama Allah SWT.
Pahlawan perang di kalangan sahabat, sangat banyak, ahli fiqih, juru dakwah dan para guru juga tidak sedikit. Tetapi masyarakat dan lingkungan saat itu belum banyak yang melek huruf, bisa baca tulis. Pada masa itu manusia belum merasa pentingnya baca tulis sebagai bukti kemajuan suatu masyarakat. Pada saat seperti itulah, Abu Hurairah dengan fitrahnya yang kuat dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dibangun oleh Islam, kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya. Saat itu memang sudah ada para sahabat yang sudah mampu menulis, tetapi jumlah mereka sangat sedikit sekali, apalagi sebagian dari mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mencatat hadits-hadits yang ucapkan oleh Rasulullah SAW.
Sebenarnya Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, ia
hanya seorang ahli hafal yang mahir di samping mempunyai kesempatan atau
mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan untuk itu, karena ia tidak
punya tanah yang akan digarap, dan tidak punya perniagaan yang akan
diurus.
Ia menyadari sepenuhnya bahwa dirinya termasuk
orang yang masuk Islam belakangan, karena itulah ia bertekad untuk
mengejar ketertinggalannya dengan cara selalu mendampingi Rasulullah
secara terus-menerus dan selalu hadir dalam majlisnya. Ia juga sadar
dengan bakat pemberian Allah SWT pada dirinya, berupa daya ingatan yang
luas dan kuat, dan makin bertambah kuat, tajam dan luas dengan Doa
Rasulullah SAW, agar pemilik bakat ini diberi Allah berkat.
Dengan
kekuatan dan kemampuan serta bakat itulah ia menyiapkan dirinya untuk
memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan yang sangat penting
itu dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Sewaktu Rasulullah SAW telah berpulang ke Rahmatullah, Abu Hurairah terus saja menyampaikan hadits-hadits Nabi SAW, yang menyebabkan sebagian sahabatnya merasa heran dengan bertanya-tanya di dalam hati, dari mana saja datangnya hadits-hadits ini, kapan didengarnya dan endapkannya dalam ingatannya.
- Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kecurigaan sahabat-sahabatnya itu, Abu Hurairah memberi penjelasan: “Tuan-tuan
telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadits
dari Nabi SAW, dan tuan-tuan katakan pula bahwa orang-orang Muhajirin
yang lebih dulu masuk Islam daripada Abu Hurairah, tidak pernah
menceritakan hadis-hadis itu?
Ketahuilah, bahwa sahabat-sahabatku orang-orang Muhajirin itu sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku orang Anshar sibuk dengan tanah pertanian mereka . Sedang aku adalah orang miskin, yang paling banyak mempunyai kesempatan dan menyertai majlis Rasulullah, aku hadir di saat yang lain absent, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukannya.
Pada suatu hari Nabi pernah bersabda kepada kami: “Siapa yang membentangkan sorbannya hingga selesai pembicaraanku kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia tidak akan pernah lupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarnya daripadaku….!” Oleh sebab itulah, kuhamparkan sorbanku, lalu beliau berbicara kepadaku, Kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada satupun yang terlupa dari apa yang telah kudengar.
Demi Allah kalau tidak karena adanya ayat di dalam kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikitpun. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah kami nyatakan kepada manusia di dalam kitab mereka itulah yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (para malaikat) (QS. Al-Baqarah: 159)
Abu Hurairah menjelaskan mengapa ia menjadi seorang yang paling banyak mengeluarkan riwayat hadits dari Rasulullah SAW:
Pertama, karena ia banyak meluangkan waktunya untuk menyertai Nabi lebih banyak dari para sahabat lainnya.
Kedua, karena ia memiliki daya ingatan yang sangat kuat, yang telah diberi berkat oleh Rasulullah SAW, hingga ia jadi semakin kuat.
Ketiga,
ia menceritakan hadits bukan karena ia gemar bercerita. Tetapi karena
keyakinan bahwa menyebarluaskan hadits-hadits Nabi SAW merupakan
tanggungjawabnya terhadap agama dalam hidupnya. Jika hal itu tidak
dilakukannya, berarti ia menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk
orang yang lalai yang sudah barang tentu ia akan menerima azab karena
kelalaiannya.
Oleh sebab itulah ia terus saja memberitakan
hadits. Tak ada suatupun yang bisa menghalanginya dan tak seorangpun
boleh melarangnya. Hingga pada suatu hari Amirul Mukminin, Umar bin
Khaththab, berkata kepadanya: “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan
berita dari Rasulullah! Jika tidak, maka akan kukembalikan kau ke Tanah
Daus…!” (yaitu tanah kaum dan keluarganya).
Tetapi
larangan ini mempunyai maksud sebagai pengukuhan dari suatu pandangan
yang dipandang baik oleh Umar, yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka
waktu tertentu tidak menghafal yang lain, kecuali Al-Qur’an sampai ia
melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran mereka.
Oleh
sebab itu Sayyidina Umar berpesan: “Sibukkanlah dirimu dengan Al-Qur’an
karena itu adalah kalam Allah, dan kurangilah meriwayatkan hadits
perihal Rasulullah kecuali yang berkenaan dengan amal perbuatannya!”
Abu
Hurairah sangat menghargai pandangan Sayyidina Umar, tetapi ia juga
percaya pada dirinya dan tetap teguh mengemban amanat, hingga ia tidak
hendak menyembunyikan suatu pun dari hadits yang diyakininya bahwa
menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan.
- AKRAB DENGAN KELAPARAN
Sahabat
yang satu ini biasa berpuasa sunah tiga hari setiap awal bulan
Qamariah, mengisi malam harinya dengan membaca Al-Quran dan shalat
tahajjud. Beliau sering mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan
lapar.
Abu Hurairah adalah sahabat yang sangat dekat
dengan Nabi SAW. Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah, yaitu
orang-orang papa yang tinggal di pondokan masjid (pondokan ini juga
diperuntukkan buat para musafir yang kemalaman). Begitu dekatnya dengan
Nabi, sehingga beliau selalu memanggil Abu Hurairah untuk mengumpulkan
ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.
Karena
kedekatannya itu, Nabi pernah mempercayainya menjaga gudang penyimpanan
hasil zakat. Suatu malam seseorang mengendap-endap hendak mencuri,
tertangkap basah oleh Abu Hurairah. Orang itu sudah hendak dibawa ke
Rasulullah.
“Ampun tuan, kasihani saya,” Pencuri itu memelas.
“Saya mencuri ini untuk menghidupi keluarga saya yang kelaparan.”
Abu Hurairah tersentuh hatinya, maka dilepasnya pencuri itu. “Baik, tapi jangan kamu ulangi perbuatanmu ini.”
Esoknya hal ini dilaporkan kepada Nabi SAW. Nabi tersenyum. “Lihat saja, nanti malam pasti ia kembali.”
Benar
pula, malam harinya pencuri itu datang lagi.
“Nah, sekarang kamu tidak
akan kulepas lagi.”
Sekali lagi, orang itu memelas, hingga Abu Hurairah
tersentuh hatinya.
Tapi, ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, kembali
beliau mengatakan hal yang sama. “Lihat saja, orang itu akan kembali
nanti malam.”
Ternyata pencuri itu benar-benar kembali. “
"Apa pun
yang kamu katakan, jangan harap kamu bisa bebas. Sudah dua kali
kulepas, kamu tak kapok-kapok juga.”
Pencuri itu malah menggurui. “Abu Hurairah, sebelum kamu tidur, bacalah ayat kursi agar syaitan tidak menyatroni kamu.”
Merasa mendapat pelajaran berharga, Abu Hurairah terharu. Ah, ternyata orang baik-baik, pikirnya.“
Apa
yang dikatakan orang itu memang benar,” Sabda Nabi ketika dilapori pagi
harinya. “Tapi orang itu bukan orang baik-baik. Dia adalah syaitan. Dia
katakan itu supaya dia kamu bebaskan.”
Karena
keinginannya selalu menyertai Nabi SAW, ia pernah menderita kelaparan
yang amat sangat, yang belum diderita oleh orang lain. Bagaimana rasa
lapar itu menggigit-gigit perutnya. Dia meletakkan batu di perutnya
dengan mengikat pakai sorban, lalu ditekannya batu itu ke ulu hatinya
dengan kedua tangannya, sampai ia terjatuh di masjid sambil
menggeliat-geliat kesakitan, hingga sebagian sahabat yang melihatnya
mengira ia sakit ayan, padahal sama sekali tidak…!
Abu Hurairah pernah menceritakan kepada Mujahid dan Ahmad bahwa ia pernah menceritakan tentang dirinya:
“Demi
Allah, terkadang aku menekan perut ke tanah karena rasa lapar, dan
terkadang juga aku mengganjal perutku dengan batu. Pada suatu hari aku
duduk di pinggir jalan yang biasanya selalu dilalui oleh para sahabat,
tiba-tiba Abu Bakar (ra) lewat di di situ. Maka aku bertanya mengenai
salah satu ayat Al-Qur’an, padahal sebenarnya aku tidak semata-mata
bertanya melainkan dengan harapan supaya dia mengajak aku ke rumahnya,
tetapi dia tidak mengajakku.
Kemudian Umar (ra) lewat di tempat itu,
kepadanya juga aku bertanya mengenai ayat Al-Qur’an, dengan harapan dia
akan mengajakku ke rumahnya, tetapi Umar pun tidak mengajakku. Tidak lama
kemudian Rasulullah SAW lewat di tempat itu. Ketika beliau melihat raut
wajahku, beliau memahami apa yang ada dalam hatiku, maka beliau
berkata : “Wahai Abu Hurairah, kemarilah”
Aku menyahut “Labbaik ya
Rasulullah!”
Nabi berkata: “Ikutlah denganku!”
Ketika sampai di rumah
beliau, aku minta izin untuk masuk , beliau mengizinkan aku masuk. Di
dalam rumah, aku melihat ada semangkok susu. Lalu Rasulullah bertanya
kepada keluarganya, “Dari mana kalian peroleh susu ini?”
Keluarganya
menjawab: “Seseorang mengantarkannya kemari sebagai hadiah untuk kita.”
Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Wahai Abu Hurairah,”
Aku menyahut,
“Labbaik ya Rasulullah.”
Beliau berkata lagi: “Pergilah ke ahli Suffah
dan panggillah mereka ke sini!”
Abu Hurairah berkata: “Ahli Suffah
adalah para tetamu Islam yang tidak mempunyai rumah dan juga tidak
mempunyai harta benda. Apabila ada suatu hadiah datang kepada Rasulullah
SAW, maka sebagian dimakan oleh Rasulullah dan sebagian lagi diberikan
kepada ahli suffah. Dan apabila suatu datang kepada beliau sebagai
sedekah, maka beliau tidak memakannya melainkan memberikan semuanya
kepada ahli suffah.”
Ketika aku disuruh memanggil ahli suffah, aku merasa susah hati, karena sebelumnya aku sangat berharap dapat meminum susu tersebut, sehingga dapat memulihkan kekuatanku untuk sehari semalam, sedangkan aku disuruh Rasulullah SAW untuk memanggil mereka. Jika mereka datang, maka pasti aku harus memberikan susu itu kepada mereka, lalu mereka semua meminumnya sehingga tidak akan tersisa lagi untukku. Akan tetapi tidak ada jalan lain selain taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena itulah aku pergi memanggil mereka.
Lalu mereka datang dan meminta izin masuk, dan duduk di tempatnya masing-masing. Kemudian Rasulullah SAW berkata: “Wahai Abu Hurairah ambillah susu itu dan berikan kepada mereka!”
Akupun mengambil mangkok susu itu dan memberikannya kepada mereka, lalu secara bergantian setiap orang meminumnya hingga merasa kenyang, sehingga aku memberikannya kepada orang yang terakhir diantara mereka. Setelah selesai, aku serahkan kembali mangkok susu itu kepada Rasulullah, lalu beliau menerimanya yang ternyata di dalam mangkok itu masih tersisa susu. Kemudian Nabi mengangkat kepalanya melihat ke arahku sambil tersenyum dan berkata: “Wahai Abu Hurairah!” Kini tinggal aku dan kamu.”
Aku menjawab: “Engkau benar ya Rasulullah.”
Beliau berkata: “Sekarang duduk dan minumlah!”
Maka akupun duduk dan meminum susu tersebut. Nabi SAW menyuruhku meminum lagi. Akupun meninumnya lagi. Beliau terus menyuruhku untuk meminumnya, sehingga aku berkata: “Cukup, demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, tidak ada lagi tempat yang kosong dalam perutku.”
Rasulullah berkata: “Baiklah, berikanlah mangkok itu padaku.”
Maka akupun memberikan mangkok itu kepada beliau, kemudian beliau meminum sisa susu yang masih terdapat di dalam mangkok tersebut.”
Ketika aku disuruh memanggil ahli suffah, aku merasa susah hati, karena sebelumnya aku sangat berharap dapat meminum susu tersebut, sehingga dapat memulihkan kekuatanku untuk sehari semalam, sedangkan aku disuruh Rasulullah SAW untuk memanggil mereka. Jika mereka datang, maka pasti aku harus memberikan susu itu kepada mereka, lalu mereka semua meminumnya sehingga tidak akan tersisa lagi untukku. Akan tetapi tidak ada jalan lain selain taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena itulah aku pergi memanggil mereka.
Lalu mereka datang dan meminta izin masuk, dan duduk di tempatnya masing-masing. Kemudian Rasulullah SAW berkata: “Wahai Abu Hurairah ambillah susu itu dan berikan kepada mereka!”
Akupun mengambil mangkok susu itu dan memberikannya kepada mereka, lalu secara bergantian setiap orang meminumnya hingga merasa kenyang, sehingga aku memberikannya kepada orang yang terakhir diantara mereka. Setelah selesai, aku serahkan kembali mangkok susu itu kepada Rasulullah, lalu beliau menerimanya yang ternyata di dalam mangkok itu masih tersisa susu. Kemudian Nabi mengangkat kepalanya melihat ke arahku sambil tersenyum dan berkata: “Wahai Abu Hurairah!” Kini tinggal aku dan kamu.”
Aku menjawab: “Engkau benar ya Rasulullah.”
Beliau berkata: “Sekarang duduk dan minumlah!”
Maka akupun duduk dan meminum susu tersebut. Nabi SAW menyuruhku meminum lagi. Akupun meninumnya lagi. Beliau terus menyuruhku untuk meminumnya, sehingga aku berkata: “Cukup, demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, tidak ada lagi tempat yang kosong dalam perutku.”
Rasulullah berkata: “Baiklah, berikanlah mangkok itu padaku.”
Maka akupun memberikan mangkok itu kepada beliau, kemudian beliau meminum sisa susu yang masih terdapat di dalam mangkok tersebut.”
Di lain waktu Abu Hurairah menceritakan:
“Sudah
tiga hari lamanya aku tidak makan apa-apa, lalu aku keluar berniat
pergi ke Suffah, tetapi karena badanku sangat lemah, di tengah jalan aku
terjatuh. Anak-anak kecil yang melihatku berkata: “Abu Hurairah terkena
penyakit gila!”
Aku menjawab: “Tidak, Kalianlah yang gila.”
Aku terus merangkak hingga sampai di Suffah. Setibanya di sana, aku melihat ada dua piring Tsarid (roti yang dicampur daging kuah) dibawa kehadapan Rasulullah, lalu beliau memanggil ahli suffah untuk bersama-sama makan Tsarid tersebut. Merekapun menyantapnya bersama-sama. Aku melihatnya dengan memanjangkan leher berharap agar Nabi memanggilku. Setelah ahli Suffah selesai makan, mereka semua berdiri, sedangkan yang tersisa hanya sedikit makanan di pinggiran piring, kemudian Rasulullah mengumpulkan sisa makanan tersebut, maka terkumpullah menjadi satu suapan, lalu beliau letakkan sesuap makanan itu di jari-jari beliau sambil berkata kepadaku: “Ucapkanlah Bismillah dan makanlah.” Demi Dzat yang aku berada dalam genggaman-Nya aku terus-menerus memakan dari satu suapan tersebut sehingga aku merasa kenyang.”
Aku menjawab: “Tidak, Kalianlah yang gila.”
Aku terus merangkak hingga sampai di Suffah. Setibanya di sana, aku melihat ada dua piring Tsarid (roti yang dicampur daging kuah) dibawa kehadapan Rasulullah, lalu beliau memanggil ahli suffah untuk bersama-sama makan Tsarid tersebut. Merekapun menyantapnya bersama-sama. Aku melihatnya dengan memanjangkan leher berharap agar Nabi memanggilku. Setelah ahli Suffah selesai makan, mereka semua berdiri, sedangkan yang tersisa hanya sedikit makanan di pinggiran piring, kemudian Rasulullah mengumpulkan sisa makanan tersebut, maka terkumpullah menjadi satu suapan, lalu beliau letakkan sesuap makanan itu di jari-jari beliau sambil berkata kepadaku: “Ucapkanlah Bismillah dan makanlah.” Demi Dzat yang aku berada dalam genggaman-Nya aku terus-menerus memakan dari satu suapan tersebut sehingga aku merasa kenyang.”
Meski
Abu Hurairah seorang papa, boleh dibilang tuna wisma, salah seorang
majikannya yang lumayan kaya menikahkan putrinya, Bisrah binti Gazwan,
dengan beliau. Majikannya tak melihat kaya atau miskin, majikan atau
buruh. Abu Hurairah dipandang mulia karena kealiman dan keshalihannya.
Perilaku Islami telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa
Jahiliah yang memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran
kemuliaan.
- MENOLAK JABATAN
Ketika
Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi Amirul Mukminin, Abu Hurairah
diangkat menjadi gubernur Bahrain. Sayyidina Umar sebagaimana kita
ketahui adalah orang yang sangat keras dan teliti terhadap
pejabat-pejabat yang diangkatnya. Jika ia mengangkat seseorang sedang ia
mempunyai dua pasang pakaian maka sewaktu meninggalkan jabatannya nanti
haruslah tetap mempunyai dua pasang pakaian juga, malah lebih baik
kalau ia hanya memiliki satu pakaian saja. Apabila waktu meninggalkan
jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, maka ia tidak akan luput dari
introgasi Sayyidina Umar, sekalipun kekayaan itu berasal dari jalan
yang halal yang dibolehkan syara’.
Rupanya sewaktu Abu
Hurairah memangku jabatan sebagai kepala daerah di Bahrain ia telah
menyimpan harta yang berasal dari sumber yang halal. Hal ini diketahui
oleh Sayyidina Umar. Karena itulah ia dipanggil untuk datang dan
menghadap di Madinah.
Umar berkata kepada Abu Hurairah:
“Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta
Allah?”
Jawab Abu Hurairah: “Aku bukan musuh Allah dan bukan pula musuh Kitab-Nya, aku hanya menjadi musuh orang-orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah!”
Umar bertanya: “Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?”
Abu Hurairah menjawab: “Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan.”
"Kembalikan harta itu ke perbendaharaan Negara (baitul mal),” Jawab Umar.
Jawab Abu Hurairah: “Aku bukan musuh Allah dan bukan pula musuh Kitab-Nya, aku hanya menjadi musuh orang-orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah!”
Umar bertanya: “Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?”
Abu Hurairah menjawab: “Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan.”
"Kembalikan harta itu ke perbendaharaan Negara (baitul mal),” Jawab Umar.
Abu
Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Sayyidina Umar, kemudian ia
mengangkat tangannya ke arah langit sambil berdoa: “Ya Allah, ampunilah
Amirul Mukminin.”
Tahun 23 H, Umar memecatnya karena sang
gubernur kedapatan menyimpan banyak uang (menurut satu versi, sampai
10.000 dinar). Dalam proses pengusutan, ia mengemukakan bahwa harta itu
diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah menerima
penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu ia diminta menduduki jabatan
gubernur lagi, tapi beliau menolak.
Penolakan itu diiringi
lima alasan, yaitu “Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut
memutuskan perkara bertentangan dengan hukum (syari’at); aku tidak mau
dicambuk; aku tak mau harta benda hasil jerih payahku disita; dan aku
takut nama baikku tercemar.” Beliau memilih tinggal di Madinah, menjadi
warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin
sesudahnya.
Tatkala kediaman Amirul Mukminin Utsman bin Affan dikepung pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Al-Fitnatul Kubra
(bencana besar), Abu Hurairah bersama 700 orang Muhajirin dan Anshar
tampil mengawal rumah tersebut. Meski dalam posisi siap tempur, Khalifah
melarang pengikut setianya itu memerangi kaum pemberontak. Pada masa
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah ditawari menjadi
gubernur. Namun beliau menolak dan lebih memilih menjadi warga biasa.
Sejak ia menganut agama Islam tidak ada yang memberatkan dan
mengganjal perasaannya dari berbagai persoalan hidup yang dialaminya,
kecuali satu masalah yang hampir menyebabkan tak dapat memejamkan
mata, yaitu masalah ibunya, yang waktu itu ia menolak untuk masuk
Islam, tidak hanya itu, bahkan ibunya menyakiti perasaannya dengan
menjelek-jelekan Rasulullah di depannya.
Dari
Abu Kasir, Yazid bin Abdurrahman, Abu Hurairah bercerita kepadaku: “Dulu
aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam ketika dia masih musyrik. Suatu
hari aku mendakwahinya namun dia malah memperdengarkan kepadaku cacian
kepada Rasulullah SAW yang tentu merupakan kalimat-kalimat yang tidak
kusukai untuk kudengar. Akhirnya aku pergi menghadap Rasulullah SAW
sambil menangis. Ketika telah berada di hadapan Rasulullah SAW aku
berkata, “Ya Rasulullah, sungguh aku berusaha untuk mendakwahi ibuku
agar masuk Islam namun dia masih saja menolak ajakanku. Hari ini kembali
beliau aku dakwahi namun dia malah mencaci dirimu. Oleh karena itu
berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan hidayah kepada ibu-nya Abu
Hurairah.”
Rasulullah SAW lantas berdoa: “Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu dari Abu Hurairah.”
Kutinggalkan Rasulullah
SAW dalam keadaan gembira karena dia mau mendoakan ibuku. Setelah aku
sampai di depan pintu rumahku ternyata pintu dalam kondisi terkunci.
Ketika ibuku mendengar langkah kakiku, beliau mengatakan: “Tetaplah di
tempatmu, hai Abu Hurairah”. Aku mendengar suara guyuran air. Ternyata
ibuku mandi. Setelah selesai mandi beliau memakai jubahnya dan segera
mengambil kerudungnya lantas membukakan pintu. Setelah pintu terbuka
beliau mengatakan: “Hai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah
hamba dan utusannya”.
Mendengar hal tersebut aku
bergegas kembali menemui Rasulullah SAW. Aku menemui beliau dalam
keadaan menangis karena begitu gembira. Kukatakan kepada beliau: “Ya
Rasulullah, bergembiralah. Sungguh Allah telah mengabulkan doamu dan
telah memberikan hidayah kepada ibunya Abu Hurairah.”
Mendengar hal tersebut beliau memuji Allah dan menyanjungnya lalu berkata, “Bagus”. Lantas kukatakan kepada beliau: “Ya Rasulullah, doakanlah aku dan ibuku agar menjadi orang yang dicintai oleh semua orang yang beriman dan menjadikan kami orang yang mencintai semua orang yang beriman.”
Beliau pun mengabulkan permintaanku. Beliau berdoa, “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini yaitu Abu Hurairah dan ibunya orang yang dicintai oleh semua hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah mereka berdua orang-orang yang mencintai semua orang yang beriman.” Karena itu tidak ada seorang pun mukmin yang mendengar tentang diriku ataupun melihat diriku kecuali akan mencintaiku. [HR Muslim no. 6551].
Mendengar hal tersebut beliau memuji Allah dan menyanjungnya lalu berkata, “Bagus”. Lantas kukatakan kepada beliau: “Ya Rasulullah, doakanlah aku dan ibuku agar menjadi orang yang dicintai oleh semua orang yang beriman dan menjadikan kami orang yang mencintai semua orang yang beriman.”
Beliau pun mengabulkan permintaanku. Beliau berdoa, “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini yaitu Abu Hurairah dan ibunya orang yang dicintai oleh semua hamba-Mu yang beriman dan jadikanlah mereka berdua orang-orang yang mencintai semua orang yang beriman.” Karena itu tidak ada seorang pun mukmin yang mendengar tentang diriku ataupun melihat diriku kecuali akan mencintaiku. [HR Muslim no. 6551].
Abu
Hurairah meninggal dunia dalam usia 78 tahun pada tahun 678 M atau
tahun 59 Hijriah di Madinah. Ia dikebumikan di pekuburan Baqi’. Salah
seorang di antara mereka yang baru masuk Islam bertanya kepada temannya:
“Kenapa Syekh kita yang telah berpulang ke rahmatullah itu diberi gelar
“Abu Hurairah” (bapak kucing)?
Si temannya itu menjawab: “Di waktu Jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi, dan tatkala memeluk Islam ia diberi nama oleh Rasulullah SAW dengan nama Abdur Rahman. Ia sangat penyayang kepada binatang, dan ia mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat berteduh. Kucing itu selalu menyertainya ke mana pun ia pergi seolah-olah bayang-bayangnya. Itulah sebabnya ia diberi gelar “Bapak Kucing”. Semoga Allah ridha kepadanya dan menjadikannya ridha kepada Allah SWT.
Sumber : sufiz.com
Si temannya itu menjawab: “Di waktu Jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi, dan tatkala memeluk Islam ia diberi nama oleh Rasulullah SAW dengan nama Abdur Rahman. Ia sangat penyayang kepada binatang, dan ia mempunyai seekor kucing, yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat berteduh. Kucing itu selalu menyertainya ke mana pun ia pergi seolah-olah bayang-bayangnya. Itulah sebabnya ia diberi gelar “Bapak Kucing”. Semoga Allah ridha kepadanya dan menjadikannya ridha kepada Allah SWT.
Sumber : sufiz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar