Selasa, 04 Oktober 2011

Hadits Ummu Zar'a



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah diriku bagimu sebagaimana Abu Zar’ bagi Ummu Zar’”. Berkata Imam An-Nawawi, “Para ulama berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian untuk menyenangkan hati Aisyah dan menjelaskan bahwa ia telah bersikap baik dalam kehidupan rumah tangga bersama Aisyah”. (Al-Minhaj XV/221)


Adapun bagaimana perlakuan Abu Zar terhadap Ummu Zar, terangkum dalam hadist Ummu Zar'a. Telah shahih diriwayatkan dari Aisyah radhiallohu'anha, bahwa beliau berkisah : Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikitpun kabar tentang suami mereka.

Ada beberapa pendapat tentang dari manakah kesebelas wanita tersebut. Ada yang mengatakan bahwa mereka dari sebuah kampung di negeri Yaman, ada juga yang mengatakan bahwa mereka dari Mekah. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka adalah para wanita di zaman Jahiliyah. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka ini adalah berasal dari umat yang telah berlalu (punah).

Adapun penyebutan nama-nama kesebelas wanita tersebut maka sebagaimana perkataan Al-Khothiib Al-Bagdaadi, “Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyebutkan nama-nama para wanita yang disebutkan dalam hadits Ummu Zar’ kecuali dari jalur yang aku sebutkan dan jalur tersebut ghorib jiddan (sangat ghorib)”

Adapun faedahnya : Dibolehkan ghibah jika pendengar tidak mengetahui siapakah orang yang sedang dighibahi. Dalam hadits ini Aisyah bercerita kepada Nabi tentang para wanita yang majhul (tidak diketahui), maka terlebih lagi para suami mereka yang sedang mereka ghibahi jelas lebih tidak diketahui.

Adapun penuturan kesebelas wanita tersebut adalah sebagai berikut :

  • Wanita Pertama berkata : “Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambili”

Maksudnya adalah sang wanita memisalkan keburukan akhlak suaminya seperti gunung terjal, yang sulit untuk didaki, demikian juga sifat sombong suaminya yang merasa di atas.

Dan menyamakan suaminya yang pelit dengan daging unta yang kurus. Daging unta tidak sama dengan daging kambing karena daging unta rasanya kurang enak, oleh karena itu banyak orang yang tidak begitu senang dengan daging unta. Orang-orang lebih mendahulukan daging kambing kemudian daging sapi baru kemudian daging unta. Ditambah lagi dagingnya dari unta yang kurus. Lebih parah lagi daging tersebut memiliki bau yang kurang enak. Yaitu meskipun sang istri butuh terhadap apa yang dimiliki suaminya namun ia tahu bahwa suaminya pelit, kalau ia meminta dari suaminya maka akan sangat sulit sekali ia akan diberi, kalaupun diberi hanyalah sedikit karena pelitnya suaminya, ditambah lagi akhlak suaminya yang sombong lagi merasa tinggi.


Sebuah peringatan pada kita bahwa terkadang akhlak yang jelek yang timbul dari seorang istri adalah akibat jeleknya akhlak sang suami. Terkadang sang suamilah yang secara tidak langsung mengajar sang istri untuk pandai berbohong. Bagaimana bisa??? Jika sang suami adalah suami yang pelit, tidak memberikan nafkah yang cukup kepada istrinya maka istrinya akan berusaha mencuri uang suaminya yang pelit tersebut, dan jika ditanya oleh suaminya maka ia akan berbohong. Lama kelamaanpun karena terbiasa akhirnya ia menjadi tukang bohong. Padahal jika seorang suami menampakkan pada istrinya bahwasanya ia tidak pelit, dan memberikan kepada istrinya suatu yang bernilai meskipun hanya sedikit, maka hal ini menjadikan sang istri percaya kepadanya dan mendukung sang istri untuk menjadi wanita yang sholehah.

Bukankah sekecil apapun harta yang ia keluarkan untuk memberi nafkah kepada istrinya maka ia akan mendapatkan pahala, bahkan sesuap nasi yang ia berikan kepada istrinya

  • Wanita Kedua berkata : “Suamiku...aku tidak akan menceritakan tentang kabarnya, karena jika aku kabarkan tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya”


Maksudnya yaitu jika ia menceritakan tentang kabar suaminya maka ia akan menyebutkan aibnya yang banyak sekali, baik aib yang nampak maupun yang tersembunyi. Aib yang nampak ia ibaratkan dengan urat-uratnya yang muncul dan nampak di tubuhnya, adapun aib yang tersembunyi diibaratkan seperti urat yang timbul di perutnya yang tidak dilihat oleh orang karena tertutup pakaian. Dan jika suaminya tahu bahwa ia membeberkan aib-aib suaminya maka ia akan dicerai oleh suaminya padahal ia tidak siap untuk ditinggal suaminya. Intinya yaitu ia mengeluhkan suaminya yang banyak aibnya dan kaku serta tidak murah hati.

Adapun faedahnya adalah hendaknya istri semangat untuk tetap bisa bersama suami meskipun pada suami terdapat beberapa aib

  • Wanita Ketiga berkata : “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”

Ada beberapa penafsiran dari maksud perkataan sang wanita bahwasanya suaminya adalah orang yang tinggi. Sang wanita ingin menjelaskan bahwa suaminya tidak memiliki sesuatu kecuali hanya tubuhnya yang tinggi, itu saja. Dikatakan juga bahwasanya sang wanita mencela suaminya dengan tubuhnya yang tinggi karena ketinggian pada umumnya merupakan indikasi kebodohan dikarenakan jauhnya letak antara otak dan hati.

Dan bisa juga diartikan “orang yang tinggi” yaitu yang seorang suami yang keras dan tegas, dialah yang mengatur dirinya dan tidak mau istri-istrinya ikut campur mengatur. Bahkan ialah yang mengatur istri-istrinya semaunya sehingga istri-istrinya takut untuk berbicara dihadapannya”

Adapun perkataan sang wanita, “jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”” maka ada dua penafsiran, yaitu :
Pertama, jika ia menyebutkan aib-aib suaminya lalu hal ini sampai kepadanya maka ia akan dicerai. Namun jika ia berdiam diri maka ia tergantung terkatung-katung, seperti tidak punya suami dan sekaligus bukan wanita yang tidak bersuami. Seakan-akan ia berkata, “Aku di sisi suamiku seperti tidak bersuami karena aku tidak bisa mengambil manfaat dari suamiku, dan tidak juga aku dicerai agar aku bisa lepas darinya dan mencari suami yang lain.

Kedua, yaitu ia menjelaskan akan buruknya suaminya yang tidak sabaran jika mendengar keluhan-keluhannya. Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung meceraikannya dan ia tidak pingin dicerai karena cintanya yang dalam kepada suaminya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.

Adapun faedah adalah s
uami yang sholeh adalah suami yang dekat kepada istrinya, yang bisa menjadi tempat mencurahkan hati istrinya, dan bukan yang ditakuti oleh istrinya.

  • Wanita Keempat berkata : “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”

Tihamah adalah daerah yang dikelilingi gunung-gunung dan daerah yang mayoritas musimnya terasa panas dan tidak ada angin segar yang bertiup. Namun pada malam hari panas tersebut tidak begitu terasa maka penduduknya akan merasa nyaman dan nikmat jika dibanding keadaan mereka di siang hari.

Maksud dari sang wanita adalah menceritakan tentang kondisi suaminya yang seimbang, tidak ada gangguan dari suaminya dan tidak ada sesuatu yang dibencinya sehingga tidak membosankan untuk terus bersamanya. Sehingga ia merasa aman karena tidak takut gangguan suaminya sehingga kehidupannya nyaman sebagaimana kehidupan penduduk Tihamah tatkala di malam hari.

  • Wanita Kelima berkata : “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”

Ulama' berbeda pendapat apakah wanita ini memuji atau mencela suaminya. Sekiranya celaan, ia bermaksud suaminya masuk ke rumah garang bak harimau , tidak berkata apa-apa atau merasa ada kaitan dengan hal rumah tangga. Apabila keluar dari rumah dia seperti lelaki berani. Dia langsung tidak peduli, bertanya atau risau akan hal di rumah. Sekiranya memuji maka ia berarti apabila dia masuk ke rumah dia diam, tidak merungut atau marah. Dia tidak sadar seperti orang yang sedang tidur. Apa saja yang dimasak, dia tidak mengeluh atau bertanya kenapa atau mengapa dibuat begitu? Apakah benda yang ada atau yang tidak ada? Apabila keluar rumah dia ibarat singa yang tegas dan berani.


Hikmahnya adalah sifat suami yang baik itu tidak ikut campur dengan istrinya dalam mengatur urusan rumah, oleh karena itu jika ia melihat perubahan-perubahan atau keganjilan-keganjilan dalam rumahnya hendaknya ia pura-pura tidak tahu, ia membiarkan istrinyalah yang menangani hal itu. Atau jika ia memang harus bertanya kepada istrinya tentang keganjilan yang timbul maka hendaknya ia bertanya dengan lembut.

  • Wanita Keenam berkata : “Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”


Maksunya yaitu ia mensifati suaminya yang banyak makan dan minum dan menjelaskan sifat suaminya yang buruk yang tidak memperhatikan dirinya Jika sang istri mengalami kesedihan, kesusahan, atau sakit maka ia tidak pernah memperdulikannya.

  • Wanita Ketujuh berkata : “Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”

Semua aib yang ada di dunia ini yang tersebar di orang-orang terkumpul semuanya pada diri suaminya.

  • Wanita Kelapan berkata : “Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”

Dikatakan bahwa nama wanita ini ialah Nashirah binti Aws, ia memuji bahwa suaminya bersifat lemah lembut dan tidak kasar. Serta aroma tubuhnya selalu wangi.

Merupakan sifat suami yang baik adalah yang memperhatikan keharuman tubuhnya berakhlak yang mulia sehingga mudah dan senang didekati oleh orang-orang sebagaimana kelinci yang lembut sentuhannya dan bulunya sangat halus sehingga orang-orangpun suka mendekati binatang ini.

  • Wanita Kesembilan berkata : “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”


Maksudnya yaitu suaminya memiliki rumah yang luas yang menunjukan akan mulianya dan tinggi martabatnya di masyarakat. Ia adalah orang yang tinggi karena barang siapa yang sarung pedangnya panjang maka menunjukan ia adalah orang yang tinggi, juga pemberani. Suaminya juga suka menjamu tamu hingga api tungkunya selalu menyala setiap saat menanti tamu yang datang, yang hal ini mengakibatkan banyaknya abu bekas bakaran api. Dan rumahnya dekat dengan tempat pertemuan, maksudnya ia adalah orang yang dimuliakan oleh masyarakat sehingga masyarakat sering berkumpul di rumahnya, atau maknanya yaitu ia membangun rumahnya dekat dengan tempat perkumpulan masyarakat agar mereka mudah untuk mampir dirumahnya untuk ia jamu.

  • Wanita Kesepuluh berkata : “Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik??, Malik adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika unta-unta tersebut mendengar tukang penyala api maka unta-unta tersebut yakin bahwa mereka akan binasa”


Dikatakan nama wanita ini ialah Kabshah binti Malik.

Wanita ini menjelaskan bahwa suaminya adalah seorang suami yang sangat baik, lebih baik dari yang disangka oleh pendengar, lebih baik dari pujian tentangnya. Ia memiliki unta yang sangat banyak dikandang dan jarang dikeluarkan untuk digembalakan karena sering datangnya tamu, sehingga unta-unta tersebut harus selalu disiapkan disembelih untuk memuliakan dan menjamu para tamu. Hari-hari disembelihnya unta-unta lebih banyak dari pada hari-hari digembalakannya unta-unta tersebut, hal ini menunjukan betapa karimnya dan baiknya sang suami yang selalu menjamu para tamunya. Unta-unta tersebut jika mendengar suara tukang jagal datang maka mereka yakin bahwa mereka pasti akan disembelih karena itulah kebiasaannya tukang jagal yang selalu menyembelih mereka

Adapun faedahnya adalah termasuk sifat suami yang baik adalah memuliakan tamu, dan hendaknya ia selalu menyiapkan makanan khusus untuk para tamu karena para tamu bisa datang sewaktu-waktu.

  • Wanita Kesebelas berkata : “Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’??, dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan aku maka akupun gembira

Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya perhiasan yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan tubuhnya padat (montok). Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya tubuhnya semuanya padat. Hal ini menjadikannya gembira.

(( Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dengan kehidupan yang sulit, lalu iapun menjadikan aku di tempat para pemiliki kuda dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku tidur di pagi hari, aku minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi))

Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki kuda-kuda dan unta-unta serta hewan-hewan ternak lainnya.

Jika ia berbicara dihadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak pernah menghinakan atau menjelekannya karena mulianya suaminya tersebut dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur dipagi hari dan tidak dibangunkan karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai model minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya.

Dari serangkaian penjelasan tentang hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah diriku bagimu sebagaimana Abu Zar’ bagi Ummu Zar’", bukanlah maksudnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Aisyah sama persis sebagaimana sifat Abu Zar’ kepada Ummu Zar’, akan tetapi maksudnya sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan sikap Abu Zar’ dalam hal kasih sayang kepada istri

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menyamai Abu Zar’ dalam segala hal dan sifat yang disebutkan dalam hadits seperti kekayaan dan kemewahan hidup, memiliki putra, pembantu, dan yang lainnya. Demikian juga jelas bahwa ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah sama dengan Abu Zar’, bahkan dalam hadits sama sekali tidak disebutkan tentang ibadah Abu Zar’. Oleh karena itu janganlah dipahami dari kisah Abu Zar’ ini bahwa hanyalah yang bisa menggauli istrinya dengan baik adalah yang memiliki harta banyak dan berlebihan. Akan tetapi maksudnya hendaknya seseorang itu seperti Abu Zar’ dalam hal kasih sayang dan perhatian serta pemberian. Dan menampakkan kasih sayang dan perhatian tidaklah mesti dengan harta yang banyak, akan tetapi masing-masing suami menyesuaikan dengan kondisinya yang penting ia bisa menunjukan kasih sayang dan perhatiannya serta tidak pelitnya dia kepada istrinya. Wallahu A’lam

Sumber : firanda.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar